Senin, 16 Mei 2011

Birahi dalam balutan Luka

Mendung bergelayut diatas sekumpulan orang yang sedang bergerombol mengitari liang di sebuah pemakaman umum di kota Surabaya yang panas. Suasana sedih tampak jelas dari raut muka para hadirin di tempat itu. Walau bermuka tegar dan berusaha tak menunjukkan kesedihannya, tapi hati Antok meraskan kehilangan yang amat dalam. Edo adalah sahabatnya sejak SMU dan sekarang meninggalkannya untuk selamanya. Dengan tatapan tajam pada jenazah yang diturunkan ke liang lahat, Antok melepas sahabatnya yang telah gigih berjuang melawan penyakit kanker selama satu tahun terakhir ini.
Kembali ke rumah duka, Antok hanya duduk dilantai dipojok kamar tempat sahabatnya mengehembuskan nafas terkahir. Dia hanya melamum mengenang kejadian 2 hari yang lalu dimana Edo yang terbaring lemah diatas tempat tidur dalam kamar itu bercerita tentang rencana pelangsungan pernikahan yang sedang digagasnya. Dalam hati Antok merasakan sebuah peristiwa yang sangat ironis dari rencana sahabatnya itu.
Hampir semua yang berada dalam rumah duka tersebut masih meneteskan air matanya kecuali Antok. Sementara diluar masih ramai para teman Edo yang juga temannya bercakap-cakap mengenang seorang teman yang baru saja dimakamkan. Seorang teman mengajak Antok keluar untuk ikut bercakap-cakap dan menerima tamu, tapi Antok hanya terdiam saja.
Calon mempelai Edo terlihat masih tersedu-sedu diruang tengah berusaha ditenangkan oleh keluarga sahabatnya. Melihat kejadian itu, Antok juga ingin menangis tapi otaknya yang penuh kenangan terhadap sahabatnya mampu menghibur hatinya yang penuh kesedihan. Ingatannya kembali pada masa lalu, masa dimana ia dan sahabatnya sering menghabiskan waktu bersama untuk mempelajari hal-hal yang berbau teknologi komputer. Kebersamaan Antok dengan sahabatnya yang baru saja meninggal itu naik turun karena kesibukan masing-masing. Tapi sejak sahabatnya pindah kembali ke kota Surabaya, kebersamaan Antok dan sahabatnya kembali seperti saat-saat mereka di sekolah.
Walau tak banyak yang dilakukan Antok di rumah duka sahabatnya kecuali diam dan merokok, tapi ia tak segera pulang hingga malam hari. Merasa merepotkan keluarga sahabatnya, iapun dengan berat hati berpamitan pulang. Ketika melangkahkan keluar dari pintu rumah itu, sebuah suara yang datang dari arah belakang memanggilnya. Rupanya kakak perempuan sahabatnya dari luar kota yang telah lama tak dijumpainya minta tolong untuk diantarkan ke hotel tempatnya menginap. Antok sebenarnya sudah agak lupa dengan wajah Mbak Eka, kakak sulung sahabatnya yang lebih tua 2 tahun darinya. Eka adalah satu-satunya anggota keluarga sahabatnya yang tidak begitu dikenal oleh Antok.
“Tok, Sorry ya ngrepoti, bisa minta tolong mengantar aku dan Lusi balik?”, tanya Eka tanpa basa-basi.
“Bisa Mbak, saya lagi lowong kok!”, jawab Antok dengan serta merta.
Eka lalu balik kembali kedalam rumah dan tak lama kemudian keluar bersama Lusi, calon mempelai sahabatnya. Berbeda dengan Mbak Eka, wajah Lusi masih tampak sembab dan berjalan sangat pelan.
“Sorry ya, aku nemenin Lusi di kursi belakang, kamu sendirian didepan”, kata Mbak Eka.
“Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Antok.
Dilepas oleh beberapa anggota keluarga sahabatnya sampai depan rumah, Antok segera menyalakan mobilnya dan mengantar Lusi dan Mbak Eka.
Didalam perjalanan Eka tak henti-hentinya berusaha menghibur Lusi dan sesekali menasihatinya agar tetap tabah. Antok mengendarai mobilnya dengan pelan sambil sesekali menanyakan arah tempat tinggal keluarga Lusi pada Lusi karena sebelumnya memang belum pernah ketempatnya. Sebelumnya memang Antok sudah dikenalkan sahabatnya pada Lusi, tapi hal itu telah berlalu 6 bulan yang lalu saat ia diajak Edo ke Jakarta. Karena perkenalan yang singkat dan tak pernah bertemu lagi hingga sekarang maka Antok hanya mengenal Lusi sebatas yang Edo ceritakan padanya.
Setelah sampai di rumah keluarga Lusi, Eka mengantarkan Lusi hingga ke kamarnya. Antok yang duduk di ruang tamu mendengar isak tangis Lusi kembali muncul ketika akan ditinggal Eka. Demi menenangkan calon adik iparnya yang batal sepeninggal Edo, Eka terpaksa harus menunggu Lusi hingga tenang kembali. Sementara itu, Antok yang banyak diam ditemui oleh ayah Lusi di ruang tamu.
Dalam benak Antok timbul sebuah penasaran mengenai Eka. Dia heran terhadap ketabahan Eka menerima kematian adik kandungnya. Dan yang membuatnya heran lagi adalah sikap Eka yang menunjukkan kebijaksanaan dalam tutur katanya yang lembut ketika menenangkan Lusi. Sebuah hal yang sulit bagi seseorang yang berduka cita mendalam tapi mampu mengendalikan emosinya apalagi mengendalikan emosi orang lain.
Antok tak mengenal Eka secara langsung tapi dari cerita-cerita Edo dan anggota keluarganya yang lain, ia mengetahui bahwa Eka merupakan wanita karier dengan prestasi yang membanggakan. Walau umurnya telah menginjak kepala tiga tapi ia masih melajang. Antok yakin bahwa kelajangan Eka bukan disebabkan oleh penampilannya. Penampilan Eka meski tak menyolok tapi sangat menarik. Dengan tinggi 165 cm, berat tak lebih dari 60 kg, tubuh atletis dan berparas manis mampu membuatnya dengan mudah memilih pria yang disukainya bila ia mau. Tapi mungkin karena pekerjaannya sebagai manajer HRD di sebuah perusahaan asing di Jakarta banyak menyita waktunya sehingga saat ini ia belum berkeluarga.
Jam dinding rumah keluarga Lusi berdenting hingga 11 kali ketika Eka mengajak Antok untuk berpamitan pada kedua orang tua Lusi. Seperti sebelumnya, Antok mengendari mobilnya tanpa banyak bicara. Dia hanya menanyakan nama hotel tempat Eka menginap. Berkali-kali Eka membuka bahan pembicaraan tapi Antok tetap tak banyak komentar. Sesampai didepan pintu masuk hotel, Antok menghentikan mobilnya dan berpamitan langsung pada Eka. Semula Eka memang hanya ingin diturunkan di pintu masuk hotel. Tetapi setelah melihat seseorang yang dikenalnya dari kejauhan ia meminta Antok untuk mengantarnya kekamar.
Wajah tenang Eka berubah menjadi gelisah saat turun dari mobil. Antok memang tak tahu apa yang terjadi pada Eka tapi ia merasakan ada sesuatu. Ketika melewati lobby hotel, seseorang pria menyapa dan menghentikan langkah mereka berdua. Eka menanggapinya dengan acuh tak acuh meski tetap meladeninya bicara. Merasa bukan urusannya, Antok mengambil jarak dari Eka. Seakan tak mau jauh dari Antok, Eka memegang pergelangan tangan Antok dan menariknya agar tetap berada disampingnya. Pria itu memperhatikannya dengan wajah cemburu.
Dalam keadaan masih berdiri, pria itu berbincang pada Eka dan berusaha membujuknya segera balik ke Jakarta dengan berbagai alasan perihal urusan kantor tanpa perduli terhadap kedukaan Eka sepeninggal adiknya. Dengan tenang Eka meladeninya dan dapat membalik kata-kata pria tersebut karena dia tahu maksud sebenarnya yang tak terungkap dari omongan pria tersebut. Antok tetap saja diam tak ingin mencampuri urusan Eka dan setiap kali berusaha mengambil jarak, gandengan Eka pada pergelangan tangannya mampu menahannya.
Kesabaran pria itu mulai sirna.
“Meskipun Mr. Smith bos kamu telah memberimu cuti 5 hari, tapi dia pasti akan menjadikanmu kambing hitamnya bila harga saham perusahaan jatuh dalam minggu ini!”, kata pria itu dengan nada tinggi.
Kata-kata itu membuat Eka terdiam karena dia merasa omongan pria itu ada benarnya.
“Maaf om, bukannya mau mencampuri urusan, tapi bukankah saham perusahaan “X” habis rebound kemarin? Menurut prediksi malah akan terus naik minggu ini karena masih under value. Dan lagi bukankah pasar yang menentukan?”, celetuk Antok dengan tenang tapi mengejutkan Eka maupun pria itu.
Ucapan Antok mengingatkan Eka pada berita dari lantai bursa kemarin dan semakin mengukuhkan pendiriannya untuk tidak segera kembali ke Jakarta. Pada saat yang sama, pria itu merasa sangat marah pada Antok karena mencampuri urusannya dan mematahkan argumennya.
“Tahu apa kamu tentang bursa saham?”, tanya pria itu dengan nada menghina dan mendekat pada Antok.
Pria itu berusaha agar dapat berkelahi dengan Antok untuk melampiaskan rasa kekesalannya yang sudah muncul sejak tadi. Tapi Antok hanya diam dan menggeleng kepala, sedikitpun tak terprovokasi. Sumpah serapah yang diterima Antok selanjutnya hanyalah bagai angin lewat tanpa sedikitpun mengusik emosinya yang ikut terkubur bersama jenazah sahabatnya.
Antok tetap diam berdiri ditempat, tegar dan pasrah seakan siap menerima apapun membuat pria itu makin marah dan mendorong-dorongnya dengan keras tapi dicegah oleh Eka. Datangnya beberapa satpam dan pegawai hotel tersebut membuat pria itu malu dan segera meninggalkan tempat itu. Sepeninggal pria itu Eka menggandeng tangan Antok mengajaknya ke arah lift untuk menuju kekamarnya di lantai 4.
“Maaf ya Tok, aku jadi ngrepotin kamu!”, kata Eka sesampai didalam kamar.
“Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Antok tanpa ekspresi.
“Sebentar ya aku ganti pakaian dulu”, kata Eka langsung masuk ke kamar mandi.
“Tok, kamu pandai masalah saham juga ya!”, puji Eka sewaktu keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan lagi celana jeans-nya.
Pujian Eka memotong lamunan Antok yang sedang menatap pemandangan malam kota Surabaya dari jendela kamar hotel. Setelah memutarkan badan ke arah ucapan Eka ia melihat sosok wanita cantik berkaki indah nan mulus hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan bercelana dalam saja. Antok memperhatikan Eka yang sedang berjongkok mengambil minuman kaleng dari lemari es kecil.
“Maaf Mbak, maksud saya tadi bukannya sok tahu soal saham, saya hanya penasaran soal saham perusahaan Mbak, saham yang baru saja rebound apalagi masih under-valued bisa kembali anjlok lagi seperti dibilang orang itu”, ungkap Antok dengan nada datar.
“Omongan pria itu hanya mengada-ada, dia itu yang sok tahu, analisa sahammu cukup jitu”, kata Eka sedikit menggoda sambil menyerahkan minuman kaleng pada Antok.
“Analisa berita bukan analisaku”, kata Antok tanpa ekspresi sedikitpun.
Eka menatap pemuda yang duduk didepannya dan lagi sibuk membuka kaleng dengan rasa kagum. Hatinya merasa bangga pada adiknya yang tak salah memilih sahabat.
“Tok, aku bisa minta tolong lagi? Tapi kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa!”, tanya Eka.
“Nggak usah sungkan Mbak, kalau bisa ya aku bersedia”, jawab Antok sambil mengusap ceceran minumannya di bibir.
“Keberatan nggak kalau kamu bermalam disini untuk jagain aku malam ini. Soalnya pria tadi baru saja kuputus 2 hari yang lalu dan kelihatannya masih belum bisa terima. Aku takut kalau tiba-tiba ia ngelabrak aku lagi seperti tadi”, ungkap Eka.
“Nggak masalah kok Mbak”, jawab Antok.
“Pacarmu apa nggak marah kalau tahu kamu menginap di hotel berdua dengan cewek?”, tanya Eka agak penasaran.
“Belum punya, Mbak!”, jawab Antok singkat.
Berbekal salah satu gelar sarjana yang dimilikinya, psikologi, ditambah dengan pengalamannya, Eka meyakini bahwa Antok tidak berbohong dengan jawabannya. Keyakinan atas jawaban Antok beserta sikapnya membuat Eka merasa terhibur.
“Tok, kalau ngantuk tidur aja disampingku, tempat tidurnya besar kok”, ajak Eka sambil membaringkan badan dan menarik selimut.
“Silakan Mbak tidur dulu, saya nggak ngantuk kok”, tolak Antok halus dan kembali termenung dikursinya menatap langit dengan pandangan kosong dari balik jendela kamar hotel.
Bagi Antok saat ini meninggalnya Edo masih memberinya perasaan hampa dalam hatinya seakan mengunci pintu emosi dan nafsunya.
Penolakan Antok akan ajakannya menimbulkan sedikit kekecewaan pada Eka, meskipun sepenuhnya dapat memaklumi situasi dan kondisi Antok. Dalam benaknya ia mempertanyakan kembali perasaan kecewanya. Sejak melihat kembali Antok siang tadi setelah waktu yang sekian lama, ia sudah menganggap pemuda itu sebagai adiknya. Dan ia yakin Antok menganggapnya sebagai kakak yang tak pernah dia miliki. Tapi Eka heran pada perasaannya sendiri. Munculnya getaran lain sewaktu mendengar jawaban singkat Antok yang belum punya pacar dan timbulnya rasa sedikit kecewa tadi membuatnya semakin penasaran. Dalam pembaringannya Eka masih dapat melihat sosok Antok yang sedang duduk menerawang ke langit. Keberadaan Antok sekamar dengannya memberinya selimut rasa aman yang lebih hangat dari selimut yang sedang dipakainya. Kehangatan itu membawanya ke alam mimpi.
Berjam-jam Antok hanya duduk sambil terus menggali kembali ingatannya ketika bersama Edo. Seperti orang gila, Antok sesekali tersenyum seorang diri. Tiap detik waktu berlalu membawa ingatannya setitik demi setitik semakin menuju masa-masa akhir berhembusnya nafas Edo. Tak ada senyum lagi. Setetes demi setetes air matanya meleleh hangat di kedua pipi dinginnya. Suasana hening kamar dan sejuknya AC kamar hotel menambah kerinduannya pada sahabatnya yang belum 24 jam meninggalkannya untuk selamanya. Semakin kuat ia menahan perasaannya, isaknya semakin dalam.
“Antok, kamu Kenapa?”, suara khawatir Eka mengagetkan Antok.
“Nggak apa-apa Mbak, masih gelap kok, tidur aja lagi!”, jawab Antok sambil mengusap air matanya berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Eka yang khawatir pada keadaan Antok dapat menebak beban kesedihannya. Eka turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ke tempat duduk Antok. Lalu ia duduk di kursi yang berseberangan meja dengan kursi yang diduduki Antok.
“Tok, putar kursimu dan mengobrol denganku, tak baik membenam kesedihan seperti itu”, ucap Eka.
Walau menuruti perintah Eka untuk memutar kursi dan berhadapan dengannya tapi Antok masih menyanggah perasaan sedih yang membebaninya pada Eka.
“Kamu nggak usah merasa malu menangis didepanku. Aku tahu bahwa kamu sangat dekat dengan Edo. Selain Lusi aku dapat menebak bahwa kamu orang selain keluargaku yang amat sangat kehilangan Edo. Bahkan mungkin beban kesedihanmu bisa-bisa lebih berat daripada keluargaku sendiri”, ungkap Eka panjang lebar pada Antok.
“Kasihan Edo, masih muda seumur denganku, karier mantap, calon pendamping sudah punya, tabungan hari tua juga cukup, tapi penyakitnya..”, kata Antok tak mampu meneruskan kata-katanya sambil sesenggukan.
Eka bangkit dari tempat duduknya mendekat ke tempat Antok duduk. Tapi Antok sudah terburu menghamburkan tubuhnya ke tempat tidur dan membenamkan mukanya diatas bantal. Eka menyusulnya dan memeluk pundaknya.
“Sudah Tok, lepaskan kepergian adikku! Biarkan dia tenang! Sahabat sejati tak akan menambah penderitaan sahabatnya yang pergi, bukan?”, suara lirih Eka diatas telinga Antok yang masih menelungkupkan mukanya. Nasihat Eka menyadarkan Antok dari keterpurukan suasana kalut hatinya.
Sedikit demi sedikit beban kesedihan Antok mulai berkurang. Seiring dengan itu ia mulai membalikkan badannya pelan. Kepalanya menengadah ke arah plafon dengan muka masih berurai sisa-sisa air matanya. Sentuhan tangan Eka yang lembut mengusapnya. Keduanya sangat dekat hingga satu sama lain dapat merasakan nafas masing-masing. Membangkitkan kembali kesadaran emosi dan nafsu Antok.
Antok bingung dengan apa yang sedang dialaminya hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata maupun berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah memeluk bahu Eka yang saat ini tengah menidurkan kepalanya diatas dada Antok. Eka merasakan pelukan tangan Antok pada bahunya dengan hati tersenyum. Degup jantung yang didengar Eka dari dada Antok bagaikan irama “nina-bobo” yang mengantarkannya kembali tidur. Terbuai dengan kehangatan tubuh Eka yang sedang memeluknya, Antok pun ikut tertidur.
Sinar matahari pagi membangunkan Eka dari tidurnya. Bangkit pelan ia memberanikan diri mendekatkan mukanya pada muka Antok yang masih tertidur pulas. Ditatapnya wajah sahabat adiknya itu. Dalam hati Eka menanyai dirinya sendiri, dia heran mengapa dia bisa merasa sangat dekat dengan Eko. Padahal sebelumnya ia sangat jarang bertemu dengannya dan telah lama tak bertemu dengannya. Pertemuan-pertemuan sebelumnya pun terjadi tanpa sengaja dan sangat sebentar. Memang Edo pernah menceritakan perihal Antok tapi itupun tidak detil dan banyak yang sudah ia lupakan. Yang ia tahu pasti adalah Antok merupakan sahabat Edo dalam masa lebih dari 10 tahun. Dan keluarganya sudah menganggap Antok seperti anggota keluarganya begitu pula keluarga Antok juga sudah menganggap Edo sebagai keluarganya.
Kebiasaan rutin Eka setelah bangun adalah segera mandi untuk menyegarkan badan. Tapi kali ini ia merasa berat untuk melakukannya. Ia masih terbelenggu oleh perasaannya dan belum beranjak dari tempatnya. Tak kuasa menahan kehendak hatinya, dengan pelan ia mengusapkan bagian belakang jari-jari tangannya pada wajah Antok yang imut dan lugu selagi pulas. Usapannya pelan dan lembut penuh perasaan. Kembali hatinya menanyakan perasaannya pada Antok. Hatinya tak mau diajak kompromi untuk menganggap Antok hanya sebagai adiknya sepeninggal Edo. Perasaannya menginginkan lebih dari itu.
Semakin keras usaha Eka untuk melawan perasaannya semakin gundah pula hatinya. Tapi berkat pengalamannya berhubungan dengan lawan jenisnya, akhirnya Eka dapat menepis semua itu dengan rasionilnya. Rasio sadarnya menyatakan bahwa perasaannya pada Antok muncul hanya karena situasi dan kondisi serta pengaruh gairah nafsunya yang sedang memuncak. Ciuman bibir basahnya ia layangkan pada kening Antok untuk tanda ucapan perpisahan bagi perasaannya pada Antok. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, khawatir ciumannya akan membangunkan Antok.
Dalam guyuran air shower, rasio pikiran Eka ikut jatuh terguyur. Perasaan yang telah ditepisnya kembali menghinggapi hati Eka.
“Kenapa aku sangat tertarik pada Antok? Apakah ini bukan sekedar ajakan nafsu? Apakah hal ini benar-benar kata hatiku? Apakah aku harus mengikuti kata hatiku? Ataukah harus kuhalau semua perasaan itu? Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dengan Antok? Bagaimana sikapnya kalau dia mengetahui perasaanku padanya?”, itulah sebagian pertanyaan yang muncul dibenak Eka ketika ia mandi.
Ketukan pintu kamar dan suara perbincangan antara Eka dengan pegawai room service hotelmembangunkan Antok dari tidurnya. Antok agak bingung merasa seakan-akan ingatannya hilang sebagian. Lalu dilihatnya Eka dengan troli makanan. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih dan akhirnya ia ingat akan semua kejadian kemarin hingga saat ini.
“Tok, kamu kupesankan nasi goreng untuk sarapan”, ujar Eka sambil buru-buru mengenakan celana jeansnya sementara masih mengenakan piyamanya.
Lalu Eka memutar badannya dan mengganti piyamanya dengan kaos putih berkerah. Celana dalam dan BH warna hitam yang dikenakannya sempat terlihat oleh Antok tanpa sengaja. Pemandangan Eka berganti pakaian itu membuat ereksi pagi yang sedang dialami Antok semakin kuat. Segera saja ia turun dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena tak ingin malu pada kakak sahabatnya itu.
Di kamar mandi ia hanya buang air kecil, membasuh muka dan menyempatkan gosok gigi dengan sikat gigi dalam plastik dari fasilitas kamar hotel.
“Mbak, sikat gigi hotelnya kupakai”, kata Antok pada Eka yang lagi minum kopi panasnya dengan hati-hati.
“Nggak apa-apa, aku juga nggak akan memakainya”, jawab Eka.
“Cepat minum kopimu sebelum keburu dingin, eh kamu suka kopi atau nggak?”, lanjutnya.
“Suka malah sudah jadi kebutuhan, Mbak kok repot-repot sih!”, balas Antok sedikit berbasa-basi.
“Hitung-hitung punya bodyguard yang dibayar pakai sarapan”, canda Eka sambil tersenyum manis pada Antok.
Antok pun membalasnya dengan senyuman dan segera menghabiskan sarapan yang telah dipesankan Eka.
“Omong-omong, mandimu cepat sekali, Tok!”, komentar Eka seusai sarapan.
“Memang nggak Mbak”, jawab Antok santai.
“Apa? Kamu nggak mandi.. Uhh.. jorok kamu!”, komentar Eka yang sempat keheranan.
“Sudah dari dulu Mbak”, kata Antok polos tanpa rasa bersalah.
“Pantas aja kamu belum dapat pacar!”, olok Eka.
“Ah, Mbak bisa aja! Saya memang belum usaha cari kok Mbak!”, tangkis Antok.
“Hmm.. rupanya kamu pinter ngomong juga ya, kukira kamu pendiam”, kata Eka.
“Soalnya kuperhatikan sejak kemarin, kamu banyak diam”, imbuh Eka.
“Bukannya gitu Mbak, tapi kenyataannya memang seperti itu”, jawab Antok.
“Terus kalau sudah usaha, apa kamu yakin dan pasti bisa dapat pacar?”, kejar Eka.
“Belum, namanya juga usaha, Mbak”, jawab Antok tanpa beban.
Eka kemudian berdiri ke depan cermin dan menyisir rambutnya serta melanjutkannya dengan sedikit merias wajahnya.
Sambil memperhatikan Eka, Antok berceloteh, “Mbak meskipun aku belum berusaha cari pacar tapi sudah ada kok cewek yang memperhatikan aku”.
Eka hanya melirikkan matanya ke arah Antok sambil tersenyum penuh arti. Senyuman bibir mungil Eka diantara kedua lesung pipitnya membuat Antok terpana sesaat dan salah tingkah.
“Eh, Mbak.. mm.. saya bisa bertanya sedikit soal Edo?”, kata Antok mengalihkan pembicaraan setelah ia teringat perihal yang lebih serius.
“Soal apa Tok?”, tanya Eka sambil kembali ke tempat duduknya.
“Ini soal hutang piutang Edo dengan saya, apa bisa kuutarakan pada bapak dan ibunya Mbak Eka?”, tanya Antok kemudian.
“Sebaiknya jangan diutarakan hari ini, tunggulah 2-3 hari lagi, biar bapak dan ibu agak tenang dulu”, jawab Eka.
Antok hanya mengangguk mendengar penjelasan Eka.
“Begini saja, kalau kamu memang sedang butuh kira-kira berapa hutang Edo biar kutanggung dulu”, kata Eka agak tegang.
“Mbak, kalau Edo yang berhutang pada saya, sudah kurelakan sejak kemarin, tapi ini kebalikannya Mbak”, kata Antok.
“Maksudmu?”, tanya Eka kebingungan.
“Saya yang masih punya tanggungan pada Edo makanya saya merasa punya beban hutang”, jelas Antok.
“Kalau begitu sewaktu-waktu kamu bisa mengembalikannya baru kamu ngomong ke bapak dan ibu”, kata Eka kembali tenang.
“Mbak, ini bentuknya bukan uang tunai”, kata Antok.
Melihat Eka yang jadi bingung oleh penjelasannya, Antok menceritakan dengan lebih rinci lagi soal investasi Edo yang dipercayakan padanya. Dari penjelasan Antok akhirnya Eka mengetahui bahwa Edo memutarkan sebagian tabungannya di pasar saham bersama Antok. Dan sewaktu Edo meninggal sebagian besar investasi Edo masih berbentuk saham yang belum diuangkan didalam account Antok. Dan saat ini Antok sedang tidak tahu apakah investasi Edo tersebut ingin dicairkan atau terus diputar karena si empunya sudah tiada. Tapi akhirnya Eka dapat membantu memberinya saran solusi mengenai hal itu.
“Sudah lama kamu bermain saham Tok?”, tanya Eka.
“Hampir 2 tahunan Mbak, tapi Edo baru ikut setelah kerjanya pindah kesini, ya kira-kira 8 bulanan kalau Edo”, jelas Antok.
“Makanya semalam kamu tahu soal saham, sungguh nggak mengira aku”, kata Eka.
“Semalam itu sebenarnya saya penasaran dengan perkataan temannya Mbak dan ingin memancing keluarnya informasi baru mengenai saham perusahaan Mbak bekerja kalau memang ada, eh tahunya malah dapat caci-maki”, jawab Antok.
“Tentu saja Tok, kamu cari informasi dengan orang yang lagi cemburu padamu”, komentar Eka.
Antok terbengong mendengar komentar Eka, lalu beranjak dari kursinya untuk menghindar dari subyek yang dikomentari Eka.
“Mbak, aku pamit pulang dulu ya!”, ujar Antok.
“Eh, tunggu! Tolong anterin aku ke rumah lagi ya”, kata Eka.
“Iya Mbak, saya kan sudah dibayar sarapan, jadi ya tidak bisa nolak”, canda Antok sambil menuju ke arah pintu kamar.
Eka senang mendengar Antok dapat bergurau dan melupakan kesedihannya tapi juga agak gemas terhadap kata-kata yang dilontarkan Antok karena seperti tak pernah serius.
Setelah menyalakan mesin mobil Antok tak segera melajukan kendaraannya. Ia menyempatkan mengambil hand phone nya dari laci dashboard didepan Eka. Tanpa sengaja tangannya bergeser dengan paha Eka.
“Oh, maaf Mbak!”, kata Antok.
“Memangnya kenapa?”, tanya Eka sengaja bergurau.
“Nggak, eh nggak apa-apa!”, jawab Antok dengan muka agak merah dan segera menyibukkan diri dengan HP nya menunggu mesin mobilnya panas.
Eka pun hanya tersenyum melihat Antok salah tingkah.
Dalam perjalanan mereka berdua banyak berbincang tentang keadaan kota Surabaya. Mereka berdua juga saling menukar nomer HP masing-masing. Sesampai dirumah orang tua Eka, Antok langsung melajukan mobilnya kembali tanpa mampir.
Di rumahnya yang sedang ramai dikunjungi oleh sanak famili keluarganya, Eka kembali disibukkan oleh kesibukan-kesibukan yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang. Di sela-sela kesibukannya ia sempat menanyakan perihal Antok pada adik-adiknya. Rupanya tak hanya Edo yang mengenal Antok tapi adik-adiknya yang lain juga karena ia memperoleh informasi lebih banyak yang ia perkirakan.
3 Hari Kemudian
Antok sedang bercakap-cakap dengan kedua orang tua Edo, ketika Eka datang bersama Edi adiknya, dengan membawa bungkusan makanan.
“Tok, kamu kok tahu kalau ada makanan enak”, ujar Eka.
“Ayo Mas kita santap bersama makanan ini”, imbuh Edi.
Belum sempat Antok berkomentar, Edwin si bungsu keluar dari kamarnya sambil berteriak, “Kok lama sih kak, sudah lapar nih!”.
“Ah kamu bisanya ngomel melulu, antrinya nih bikin kaki capek”, hardik Eka tak dihiraukan Edwin karena sudah berlari menyusul Edi ke ruang makan.
Tak mau ketinggalan Antok pun langsung menyusul Edi dan Edwin meninggalkan sopan santunnya pada kedua orang tua sahabatnya. Ayah dan ibunya Edo menyambut hal itu dengan bahagia karena kesedihan keluarga sepeninggal Edo berangsur-angsur surut.
Sewaktu Eka melangkahkan kaki ke ruang makan, Ayahnya memanggilnya.
“Ini Ka, tadi Antok menyerahkan ini tapi ayah masih belum mengerti meski Antok sudah menerangkannya tadi”, kata ayahnya sambil menunjukkan cek dan beberapa lembar catatan.
“Iya Ka, darimana sih kok Edo bisa dapat banyak uang?”, lanjut ibunya.
Eka pun menerangkan dengan bahasanya hingga kedua orang tuanya mengerti.
Setelah agak mengerti, ibunya berkomentar, “Edo tak pernah cerita soal ini pada siapapun, beruntung ia punya sahabat seperti Antok”. Komentar itu diiyakan oleh ayahnya dan wajah Eka yang berbinar haru.
Ramainya ruang makan terdengar hingga ruang tengah dan mengingatkan Eka pada makanan yang dibelinya. Bergegas ia pun bergabung dengan 3 pemuda yang sedang melahap makan malam sambil bersenda gurau.
“Awas kalian kalau sampai aku nggak kebagian”, ancam Eka.
Antok, Edi dan Edwin saling menyalahkan dan mengolok yang makannya banyak.
Ketiga pemuda itu telah menyelesaikan makannya ketika Eka mengambil lauk pauk yang ada di meja.
“Sudah Kak, meski ada Mas Antok nggak usah malu-malu, ambil aja yang banyak seperti biasanya”, goda adiknya Edwin.
“Iya, kemarin bisa menghabiskan 3 potong, masa sekarang cuman satu”, timpal Edi.
“Makanya kakakmu belum dapat jodoh, rupanya calon-calonnya takut nggak bisa memberi jatah”, tambah Antok yang langsung disambut tawa oleh Edi dan Edwin. 
Eka berusaha menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa.
“Ngambek nih ye!”, goda Edi.
“Marah, ya?”, imbuh Edwin.
“Eh, kalian kesini sebentar!”, ajak Antok pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat disampingnya.
“Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!”, kata Antok sambil tertawa diikuti Edi dan Edwin.
Mendengar kata-kata Antok, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri memegang piring kosong yang ada disampingnya. Ketiga pemuda yang ada didepannya segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat menggertak saja.
Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan.
“Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?”, tanya ayahnya pada Eka.
“Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Antok menggoda aku”, keluh Eka.
“Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!”, kata ayahnya.
“Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an”, tangkis Eka.
“Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Antok”, kata ibunya.
Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Antok. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Antok juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Antok semakin bertambah walau tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Antok. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya tarik Antok yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang dikenalnya.
Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Antok memiliki wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian. Ia juga tahu bahwa Antok memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Antok juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Antok terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti oleh Antok.
Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya. Sementara itu ayahnya memanggil Antok, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan merokok di teras rumah.
“Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?”, tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian.
Raut muka Edi dan Antok pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk membalas godaan yang dialaminya tadi.
“Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi”, ujar Antok.
“Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian”, jawab Eka.
“Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini”, kata ibunya.
Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya.
“Rupanya kalian juga berat ya kutinggal”, ejek Eka pada adik-adiknya dan Antok.
“Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang membelikan makanan lezat”, kata Antok spontan.
“Heh, Mas Antok juga ikut makan gitu lho”, kilah Edi.
“Tapi itu kan sedikit, cuman ngicipin doang”, balas Antok.
“Enak aja, Mas Antok habis 2 piring kok bilang cuman ngincipin doang”, sergah Edwin.
Perang mulutpun terjadi antara Antok, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum.
“Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah malam”, bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam.
“Siapa yang bisa mengantar aku malam ini?”, tanya Eka sambil berharap Antok bisa.
“Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara pegunungan”, ajak Antok pada dua bersaudara itu.
Tapi Edi dan Edwin beralasan dengan kesibukannya masing-masing sehingga hanya Antok yang terlihat bisa.
Satu jam berselang, Antok dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar kota Surabaya-Malang. Antok melajukan kendaraannya dengan santai. Berdua mereka menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal ringan. Setiap hal yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan mereka berdua memperoleh lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan tawa, mereka berdua merasakan saat-saat yang tak akan mudah mereka lupakan.
Waktu mendekati pukul 12 tengah malam ketika mereka berdua sampai ditempat tujuan. Di sebuah pelataran hotel berbintang 1 yang mereka masuki telah menunggu 2 orang kolega Eka. Antok menolak turun dari mobil ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada kepentingan dengan urusan perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby hotel, ia kembali ketempat Antok memarkir kendaraannya.
“Tok, kamu tidur di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan mungkin baru bisa ketemu kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat langsung menuju ke perkebunan”, kata Eka sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel.
Antok segera bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel mencari kamar yang nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya.
Dalam perjalanannya menuju kamarnya, Antok sempat berjalan bersama-sama Eka sebelum akhirnya berpisah di lobby. Dalam kesempatan itu, Antok menyempatkan curi-curi pandang ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan rambut hitam lurus sebahu yang berada selangkah didepannya itu membuat hati Antok gusar. Sebuah perasaan yang telah terpupuk di hati Antok makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus hatinya ikut menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya.
Tertegun didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Antok masih kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berlesung pipit dan berbibir mungil. Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka. Pikirannya berusaha berontak dan menaklukkan hatinya, tapi semua itu sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat lelah yang akhirnya menyapu kesadarannya hingga pulas.
Sendiri di dalam kamar, membuat Antok bermalas-malasan semenjak bangun. Bosan didalam ia pun keluar dan berjalan-jalan disekitar hotel setelah membasuh muka. Setelah sarapan dengan menu makan pagi yang telah disediakan hotel secara gratis, Antok duduk-duduk di lobby sambil merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan bermalas-malasan.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Eka kembali dengan raut muka terlihat lelah dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Melihat Eka yang capek, Antok membantu melepaskan sepatu yang masih dikenakan Eka.
“Urusannya bagaimana Mbak?”, tanya Antok yang hanya dijawab Eka dengan kata “beres”.
“Jam berapa Mbak kita bisa pulang?”, tanya Antok lagi.
“Santai Tok, aku masih capek!”, jawab Eka sambil melelapkan matanya.
Antok lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi hati Eka merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka dan melihat Antok yang masih duduk memperhatikan dirinya.
“Tok, kamu kok duduk disitu, takut ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!”, tantang Eka dengan nada manja.
Mendengar tantangan itu, Antok memberanikan diri berbaring disamping Eka yang masih telentang diatas tempat tidur.
“Hii.. dingin ya disini”, sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk tubuh Antok.
Antok hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit kedua kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan. Eka memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Antok. Tapi Antok hanya memandang saja wajah Eka.
“Ada apa Tok?”, tanya Eka berbisik setelah membuka kembali matanya.
“Mbak cakep sekali”, jawab Antok dengan pandangan mata beradu dengan Eka.
Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang membawa bibir mungilnya menempel pada bibir Antok. Tanpa aba-aba, Antok melumat lembut bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari Antok maupun Eka. Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis yang ada sampai saat ini.
Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa mereka sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan pada satu sama lainnya. Rotasi posisi mereka lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya.
Sesaat kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Antok. Berpandangan mata dengan penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan membuka resleting celana Antok. Antok mereaksinya dengan membuka kancing kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu pakaian mereka berjatuhan dari tempat tidur.
Duduk berhadap-hadapan, mereka saling memandang tubuh bugil masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan satu sama lainnya merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Antok dan Eka. Benak mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera mereka rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya.
Api cinta menyulut asmara dan mengobarkan nafsu yang telah sampai diubun-ubun Antok dan Eka. Embun duka telah mengering dan tak mampu lagi memadamkan apa yang akan terjadi. Titik kritis dimana perbuatan ini masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang tersisa saat ini hanyalah lampu hijau traffic light yang takkan padam walau putus kabelnya.
Pelan tapi pasti, Antok dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil duduk beradu pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing. Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika usapan tangan Antok melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka pun segera membelai batang kemaluan Antok dengan perasaan. Lalu..
Merangkul dalam pelukan masing-masing, menghantarkan hangat di tubuh pada lawannya. Kelembutan kulit Eka menyentuh kulit berbulu milik Antok. Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan Antok. Tangan Eka merarangkul bagian belakan leher Antok. Sedangkan Antok memegang punggung Eka dan mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu ciuman kembali dengan sangat-sangat mesra dan dekat.
Tiba-tiba Eka melepaskan bibirnya dari bibir Antok sambil mendesah panjang, “Ahh..”.
Batang kemaluan Antok yang tengah mendongkak keatas terselip masuk kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Antok mendarat di leher Eka membuat ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh batang kemaluan Antok kedalam lobang kenikmatannya.
Eka pun mendesah makin keras dan makin panjang, “Aaahh..”. Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Antok pada leher Eka.
Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata Antok. Pandangan Eka bagai menembus kalbu Antok. Daya tarik keduanya sudah seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan kuluman bibir juga Antok. Sedikit demi sedikit Eka menggerakkan tubuhnya keatas kebawah di pangkuan Antok. Gerakan pelan Eka sesekali membuat ciumannya terlepas dari bibir Antok dan berlanjut dengan adu pandang.
Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling bersambung. Kulit bertemu kulit. Dada Antok bagai dibelai payudara Eka yang menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya. Belaian yang lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus berlanjut walau pelan.
“Ohh Mbak.. ohh..”, ucap Antok dalam kenikmatan dengan mata berkejap-kejap.
Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga Antok, “Tok, aaku mauu..”.
Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang terdalam.
Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Antok membalas bisikan dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, “Lepaskan Mbaak, ohh..”.
“Ahh..”, desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam kehangatan dekapan Antok.
Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut mengantarkan tumpahan kebahagiannya.
Cairan orgasme Eka yang membasahi batang kemaluannya, dirasakan Antok bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian mereka berdua tak bergerak maupun bersuara. Masih dalam dekapan Antok, Eka lemas diatas pangkuan Antok sambil terpejam. Eka membelai rambut Antok dengan rasa kasih sayang. Antok pun membalasnya dengan kecupan dalam di pangkal leher Eka.
Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang dalam kegelapan, batang kemaluan Antok tak kunjung keluar dari liang kenikmatan Eka. Dengan segenap tenaganya, Antok mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka. Menindih diatas tubuh Eka, Antok memandangi kecantikan wajah Eka yang makin mempesonanya.
Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Antok kembali melayangkan ciumannya pada bibir Eka. Pertautan lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak pelan dan penuh perasaan, ia menggerakkan pinggulnya naik-turun maju-mundur.
Kaki-kaki Eka yang semula terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki Antok yang tengah berada diantaranya. Antok terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka meniti tangga gairah menuju puncak kenikmatan.
Tangan-tangan Eka menggapai bantal dan seprei yang ada disekelilingnya. Menggegamnya erat-erat seakan menahan sesuatu yang tak ingin ia lepaskan lebih dahulu. Diiringi dengan desahan-desahan menggairahkan yang jujur nan polos tak dibuat-buat.
Pendakian bersama akhirnya mencapai tujuannya. Gerakan Antok terhenti tiba-tiba dengan tubuh yang menegang. Didalam liang kenikmatang Eka yang paling dalam, batangnya bergemuruh hebat. Berdenyut tiada henti disambut dengan cengkeraman dinding liang. Kehangatannya melumuri permukaan dinding, memicu sambutan selanjutnya.
Melepas semua yang telah ia tahan sejak tadi, Eka melenguh dalam kenikmatan, “Ooaah..”.
Tubuhnya bergelinjang dalam dekapan Antok. Waktu seakan berhenti ketika denyut dan aliran kenikmatan mereka bersatu padu.
Ledakan nafsu asmara menyisakan bara kasih yang membahana didalam 2 jiwa yang sedang berdekapan. Kecupan bibir Antok pada kening Eka menjalankan kembali alur waktu yang telah terhenti beberapa saat. Lalu ia beranjak dari tindihannya pada tubuh Eka dan berbaring disampingnya.
Keduanya merasa lemas seakan tak ada lagi sisa tenaga yang mampu mereka keluarkan kecuali mendekapkan diri satu sama lain dibawah kehangatan selimut. Dan tertidur pulas hingga sore.
Dalam perjalanan pulang, mereka berdua hampir tak mengeluarkan suara. Sikap Antok berubah dingin dan Eka juga tak mengerti apa yang harus diperbuat menanggapi sikap Antok tersebut. Walau berbagai usaha mengajak bicara yang dilakukan Eka pada Antok selalu dijawab dengan hanya beberapa patah kata tapi ia tetap merasa bahwa Antok adalah pria idamannya. Sesampai di depan rumah keluarga Eka, Antok menurunkannya dan hanya mengucapkan kata perpisahan pendek lalu tancap gas pulang.
Diatas ranjangnya, Antok bersiap untuk tidur. Tapi aktivitas yang biasa ia lakukan dengan mudah itu terasa sulit dilakukan saat ini. Pikirannya berkecamuk, bingung dan ragu akan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Disatu sisi ia menyesal telah melakukan permainan cinta dengan Eka dan merasa mengkhianati sahabatnya Edo. Tapi disisi yang lain ia menyesal telah bersikap dingin pada Eka, kakak Edo.
Antok merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan Eka. Tak hanya oleh parasnya yang selalu mempesona dirinya tapi juga oleh semua sikapnya yang mampu merebut simpatinya. Hatinya seakan berat melepas Eka tapi wanita yang ada dalam hatinya itu adalah kakak sahabatnya yang telah meninggal. Dalam benaknya, ia merasa harus memposisikan Eka bukan sebagai kekasih tapi sebagai kakaknya.
2 Hari Kemudian
Telah 2 hari Eka berusaha menghubungi Antok setiap ada waktu tapi selalu gagal. Telepon dan SMS nya tak pernah memperoleh jawaban dari Antok. Ia benar-benar tak mengerti atas sikap Antok yang telah berubah sepulangnya dari Malang. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengannya dan berbicara dengan Antok, karena besok pagi ia harus balik ke Jakarta.
Rasa penasarannya membawanya menuju kamar adiknya, Edi.
“Ed, tumben ya Antok nggak pernah kesini lagi?”, tanya Eka pada Edi yang mengerjakan tugas kampus.
“Tadi aku ketemu”, jawab Edi.
“Di sini?”, tanya Eka.
“Nggak, di rumahnya sewaktu aku pinjam bukunya”, jawab Edi
“Memangnya ada perlu apa Kak sama Mas Antok?”, lanjut Edi.
Eka hanya menggelengkan kepala.
“Kangen ya, hehehe..”, goda Edi pada kakaknya.
Eka hanya bisa cemberut dengan wajah yang agak merah.
“Mas Antok itu orangnya aneh ya kak?”, kata Edi pada Eka kemudian.
“Aneh gimana maksudmu?”, tanya Eka tidak mengerti.
“Dia sepertinya lebih senang sendiri daripada punya pacar, pergaulannya juga kurang, tapi kalau kita sudah berteman dan mengenalnya, rasanya sulit untuk melepaskannya”, jelas Edi.
“Lalu, anehnya dimana?”, tanya Eka penasaran.
“Kak, umurku jauh lebih muda dari Mas Antok, jelek-jelek begini apalagi cuma bermodal dengkul, aku sudah gonta-ganti pacar sampai 5 kali, Mas Antok belum satu pun”, jawab Edi sedikit menyombongkan diri.
“Hmm.. Kamu yang keterlaluan dan layak disebut playboy kampungan”, kata Eka meledek adiknya, tapi yang diledek malah tertawa cekikikan.
“Eh Ed, cewek macam apa sih yang dicari Antok”, tanya Eka.
Edi tak langsung menjawab tapi memandangi kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Jelas, jelas bukan yang dicari, huahaha..”.
“Apa kamu bilang? Aku kurang cakep ya? terlalu tua ya?”, tanya Eka nerocos.
“Kak, Kak aku cuman bercanda, kakak memang cakep dan masih muda kok, tapi..”, jawab Edi tergesa-gesa tapi ragu untuk melanjutkannya.
“Tapi apa?”, buru Eka.
“Tapi kakak ada hubungan saudara dengan almarhum Kak Edo”, jawab Edi.
Kakak beradik itu lalu terdiam sesaat.
“Apa hubungannya Ed?”, tanya Eka.
“Saya pernah mencuri dengar bahwa Mas Antok punya prinsip kalau ia tak akan mengencani saudara ataupun relatif sahabatnya walaupun cakep, alasannya bisa merusak persahabatan”, kata Edi.
Eka hanya terdiam mendengar penjelasan itu. Ia mulai mengerti arti sikap Antok saat ini.
Eka melangkahakan kakinya keluar dari kamar Edi. Tiba-tiba sebuah bunyi SMS masuk dari HP nya Edi.
“Wow, Mas Antok sakti sekali, baru di bicarakan sudah SMS aku”, kata Edi.
Eka menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi Edi atas SMS Antok.
“Aduh! sayang sekali, Mas Antok ngajak kok pas lagi banyak tugas gini, terpaksa dilewatkan nih”, kata Edi dengan raut menyesal dan sibuk menjawab SMS.
“Emangnya, ngajak apa si Antok?”, tanya Eka.
“Ngajak latihan main game Counter-Strike dirumahnya yang lagi sepi”, jawab Edi.
1 Jam Kemudian Di Rumah Antok
Bel rumah keluarga Antok berbunyi dan mengagetkan Antok yang lagi asyik nonton acara TV.
“Siapa sih malam-malam gini?”, pikir Antok dalam hati.
Dengan enggan ia menuju kedepan rumah. Lalu ia bergegas membukakan pintu setelah dipikirnya Edi yang datang walau SMS dari nya mengatakan sebaliknya.
“Paling SMSnya cuman bercanda saja”, dalam benak Antok.
Kagetnya bukan kepalang setelah dilhatnya yang datang adalah Eka bukan Edi. Antok sempat tertegun tak bergerak membiarkan Eka yang masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
“Aku boleh masuk nggak nih?”, tanya Eka dengan nada canda.
“Sorry-sorry Mbak!”, kata Antok dengan tergopoh-gopoh.
Lalu Antok membukakan pintu dan menyilakan Eka masuk.
“Sepi sekali Tok rumahmu, sendirian?”, tanya Eka.
“Eh, iya Mbak, keluarga lagi keuar kota semua, pembantu juga pulang”, jawab Antok.
Eka berkeliling dirumah Antok yang luas dan melihat-lihat tempat nongkrongnya adik-adiknya terutama Edo. Setelah puas berkeliling, Eka duduk di sofa ruang tengah.
“Ada perlu apa Mbak kesini?”, tanya Antok tanpa basa-basi.
“Eh, jahat sekali kamu, masa cuma adik-adikku yang boleh main kesini?”, tanya Eka.
“Bukannya jahat gitu Mbak, tapi Mbak kok berani kesini sendirian”, kata Antok.
“Apa yang perlu kutakutkan?”, tanya Eka tegas.
“Nggak ada, malah aku yang takut, hehehe..”, jawab Antok dengan bergurau.
“Sejak dari Malang kenapa kamu nggak mau jawab HP dan SMS ku?”, tanya Eka.
Antok tertunduk malu mendengar pertanyaan itu.
“Tok, aku tidak menuntut pertanggung jawaban, aku hanya butuh penjelasan darimu”, kata Eka.
“Kita sama-sama dewasa dan aku bisa mengerti kalau kamu hanya menganggap yang kita lakukan adalah sex”, lanjut Eka semakin blak-blakan.
Antok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Bukan Mbak, bukan hanya sex tapi lebih dari itu, dan itulah penyebab perubahan sikap saya. Saya memang sengaja menjauh dari Mbak, bukan karena saya tidak suka tapi sebaliknya, saya suka sekali dengan Mbak. Mmm.. Saya mencintai Mbak Eka..”.
Kata-kata terakhir Antok menggetarkan hati Eka, membuatnya tak mampu mengucapkan sepatah kata. Eka hanya diam dan memandang Antok, menunggu dan menunggu.
“Kalau Mbak hanya menganggap yang kita lakukan hanyalah sex semata, saya bisa mengerti. Maaf Mbak, sebenarnya saya tahu saya tak pantas mengutarakan cinta pada Mbak. Apapun tanggapan Mbak terhadap saya, saya akan menerimanya. Mbak jangan kasihan pada saya”, lanjut Antok.
Eka mendehem mencoba dapat bersuara kembali, lalu berkata, “Aku nggak mengerti sama kamu Tok? Biasanya bila pria menyukai wanita, ia akan mengejarnya bukan sebaliknya, apalagi menghindar. Kenapa kamu menghindar dariku?”.
“Supaya saya dapat melupakan perasaan saya pada Mbak Eka”, jawab Antok.
“Kenapa? Apa karena aku saudaranya sahabatmu?”, tanya Eka.
Antok terkejut dengan dugaan Eka yang benar. Ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Sekarang sahabatmu, adikku Edo sudah tiada, apa kamu masih ingin melupakan perasaanmu padaku?”, tanya Eka lagi.
“Edo memang sudah meninggal, jazadnya memang sudah tiada, tapi ia masih ada di pikiranku sampai akhir hayatku”, jawab Antok.
Sebuah jawaban yang membuat haru hati Eka.
“Selanjutnya apa mau mu, Tok?”, tanya Eka.
Antok hanya geleng kepala dan mengangkat pundaknya. Keduanya terdiam dan saling memandang.
Dengan ragu Antok bertanya, “Mbak Eka, sebenarnya ada perasaan sama aku atau nggak?”.
Pipi Eka merona dan tersenyum mendekat kearah Antok.
“Menurutmu bagaimana?”, bisik Eka dengan manja.
“Mbak Eka cuma merasa kasihan saja padaku karena masih jomblo, tak lebih dari itu”, jawab Antok polos tak mengerti maksud dibalik pertanyaan Eka.
Senyum Eka berubah jadi cemberut dan berkata, “Huh, teganya kamu ngomong gitu!”.
Kali ini Antok jadi bingung dengan sikap Eka.
“Jadi, jadi..”, kata Antok tak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulai mengerti maksud Eka.
“Jadi apa? ha..”, tanya Eka dengan nada menantang sambil mendekatkan wajahnya di dekat wajah Antok.
Mendengar nada Eka, Antok merasa apa yang tadi dimengertinya salah. Ia pun lalu menunduk lemas.
Dua tangan Eka memegang dan mendongkakkan wajah Antok hingga memandang wajahnya.
“Tok, kamu terlalu polos”, kata Eka.
Belum sempat Antok menanggapinya, bibirnya telah dilumat oleh bibir Eka. Karena agak kaget, Antok bergerak mundur. Tapi Eka mengikutinya dengan merangsek maju, makin mendekat hingga tubuhnya condong ke tubuh Antok.
Ciuman Eka dibibirnya, sempat membuat Antok bingung, tapi akhirnya ia pun meresponnya.
Tiba-tiba Eka menghentikan ciumannya dan berkata, “Aku takkan melakukan hal itu pada sembarang pria. Saat ini mungkin kita belum dapat menjadi kekasih. Tapi apakah kita juga harus berhenti menjadi teman akrab?”, tanya Eka.
“Saya selalu menganggap Mbak Eka lebih dari teman akrab meskipun bukan kekasih”, jawab Antok.
“Kalau begitu beres kan urusan kita?”, tanya Eka dengan senyum manisnya.
Antok mengangguk tanda setuju.
Mereka berdua lalu duduk berdampingan dengan santai diatas sofa ruang tengah.
Lalu Eka mengeluarkan sebuah permintaan, “Tok, besok aku balik ke Jakarta. Sebagai teman akrab masa kamu tidak memberiku sesuatu”.
“Saya mau memberi kejutan, tapi Mbak Eka harus memejamkan mata dulu”, kata Antok.
Permintaan Antok dituruti oleh Eka.
Dengan mata terpejam, Eka merasakan bibirnya memperoleh ciuman basah dari Antok. Sebuah sentuhan hangat telapak tangan ia rasakan mengusap payudaranya. Jiwanya seakan terbang ke awang-awang. Sekujur tubuhnya terasa bergairah kembali.
Ciuman bibir basah Antok bergerak ke arah leher lalu turun ke arah payudara Eka. Eka heran dengan kecepatan dan kelihaian Antok membuka kancing kemejanya serta melepas BHnya tanpa ia sadari. Keheranannya sirna karena jalan pikiran Eka telah terbuntu oleh rasa nikmat yang ia rasakan. Dengan mata masih terpejam, Eka dapat merasakan kedua payudaranya memperoleh kuluman nikmat secara bergantian.
Tangan-tangan Antok bergerak lagi, membuka kancing dan resleting celana jeans Eka. Lalu mengusap-usap celana dalam Eka tepat di daerah kemaluannya.
Eka mengeluarkan desahan pertamanya, “Ahh.. Oh.. Tok, lepaskan sekalian, ahh..”.
Tanpa kesulitan Antok telah melepaskan celana jeans dan celana dalam Eka secara bersamaan karena Eka sudah mengangkat pantatnya.
Mata Eka terbelalak ketika ciuman bibir basah Antok telah mencapai liang kenikmatannya.
“Ahh..”, Desah panjang nan dalam membahana di ruang tengah yang luas nan sepi.
Sesekali lidah Antok menjulur-julur kedalam liang kenikmatan Eka menyelingi kuluman yang dibuat oleh bibirnya. Tak lama kemudian, Eka mengerang, menarik kepala Antok dengan tangannya dan menjepitnya dengan kedua kakinya. Tubuhnya mengejang dan akhirnya menggelinjang.
“Oh, kamu nakal banget Tok”, kata Eka manja dan tersenyum puas.
“Itu tadi belum masuk katagori nakal Mbak! Apa Mbak ingin tahu katagori nakal?”, tanya Antok.
Eka hanya tersenyum dan mengangguk agak penasaran. Antok langsung melayangkan ciuman di bibir Eka setelah mendapat anggukan dari Eka.
Sesaat kemudian Antok telah melepaskan semua celananya sambil tetap memberi ciuman bibir pada Eka. Antok merebahkan Eka di sofa dan segera menindih serta menyetubuhinya. Aksi tiba-tiba yang dilakukan Antok membuat Eka terkejut dalam kenikmatan tingkat tinggi.
Antok melepas ciumannya dan menegakkan tubuhnya untuk membuat dorongan maju mandur yang makin lama makin cepat sambil memegang kedua kaki Eka.
“Ahh.. ahh.. Tok.. oh..”, desah Eka.
Antok melepas pegangan pada kaki Eka dan segera memeluk tubuhnya. Kedua tubuh yang saling bercengkerama itu sama-sama mengejang. Akhirnya Antok dan Eka melepas muatan nafsu asmara yang telah mereka tahan.
Kenikmatan dan kepuasan mereka raih bersama-sama dalam selimut duka yang telah menyatukan mereka berdua.
E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar