Senin, 16 Mei 2011

Putri Keraton

Panas terik di jalan lurus beberapa kilometer memasuki kota Cirebon tidak menghalangiku untuk terus memacu kendaraan dengan kecepatan cukup tinggi dari arah ibukota pada siang hari itu.
“..demikian, yach sambil istirahat setelah seharian nyangkul begitu”, suara centil manja itu memancar dari frekuensi radio komunikasi yang terus kubuka dari tadi sambil menscan frekuensi yang sedang dipergunakan.
Segera kumatikan modul scan di pesawatku agar tetap dapat memonitor frekuensi tersebut..
“Jadi sekarang sudah di 85 correct?” suara seorang pria sejurus kemudian yang meminta konfirmasi apakah sudah ada di rumah
“10-4?, kembali suara manja itu menjawab yang berarti membenarkan
“Wah.. wah.. wah.. wah.. sudah banyak duitnya nich siang begini sudah ada di rumah”, kembali sang pria menimpali..
“Ya ngga jugalah.. duit mach tetap butuh”.
“Break”, sahutku menyela pembicaraan di antara spasi
“Kirain sudah punya banyak duit.. ya dibagi-bagi ke sini”, sahut pria tersebut
“Mas, ada yang mau masuk tuch silahkan di handle dulu sayanya 10-23 sebentar”, suara centil manja tersebut menginformasikan kehadiranku kepada rekannya..
“Yang break silahkan masuk”,
“Selamat siang.. di sini Elmo Mas dalam line bergerak menuju Cirebon”, sahutku segera memperkenalkan diri
“Selamat siang juga yang handle di sini Boom.. darimana hendak ke mana Mas?”
“Dari Kotaraja menuju ke Cirebon gitu”, penjelasanku padanya
“Silahkan dipergunakan frekuensinya mungkin ada sesuatu yang ingin di sampaikan”, sahutnya memberikan kesempatan padaku
“Oh.. tidak ada Mas cuma ingin nimbrung saja, sehubungan klo ngga ada yang ada di ajak bicara sayanya suka ngantuk nich”.
“Emang berapa personil di gerobak dan dalam rangka apa nich? Liburan begitu..?”
“Negatif Mas.. dalam rangka dinas begitu dan di gerobak sendiri saja, makanya perlu teman ngobrol begitu”
“Mas Elmo.. Boom kembali di sana ada lowongan ngga Mas klo ada boleh donk ajak-ajak saya”, pintanya
“Hmm.. anda itu memakai kacamata ngga? apakah penglihatannya masih cukup jelas?” tanyaku padanya
“Masih.. masih jelas, tidak memakai kacamata”.
“Pendengaran gimana, baik atau sudah menggunakan alat bantu?”
“Masih baik”.
“Rambut.. apakah sudah memutih?”
“Ya.. Mas, rambut mach masih hitam semua belum ada yang putih umur juga baru kepala 2?, sahutnya kembali menegaskan
“Berarti masih kuat lari betul?”
“Betul.. ngomong-ngomong mau dikasih kerja’an apa sich koq bertanya begitu..?”
“Lha.. saya ini khan raja maling, makanya saya bertanya itu supaya memenuhi persyaratan.. mata harus awas, supaya saat kebagian tugas jaga bisa mengawasi klo-klo ada hansip atau ronda lewat, telinga harus baik biar saat tugas buka gembok atau kunci tetap bisa mendengar suara klo ada yang mau nangkap, rambut juga harus hitam biar bisa sembunyi dalam kegelapan ngga ketahuan.. dan terakhir ya harus bisa lari cepat klo ketahuan.. klo ngga khan ya ketangkep begitu.. dik” jelasku padanya..
“Hahaha.. hahahaha.. hahahaha..”, suara centil manja itu kembali berkumandang
“Ujug buneeng..”, Boom tertawa kecil juga..
“Ya.., salam kenal juga buat Mas Elmo yang sedang dalam perjalanan hati-hati semoga selamat sampai di tujuan”, katanya menyalami ku..
“Salam kenal juga semoga sehat selalu.. klo boleh tahu siapa nich yang handle?” tanyaku pada pemilik suara centil manja itu..
“Di sini Vera gitu Mas Elmo”.
“Vera.. Elmo kembali.., iya dach salam buat keluarga yang di rumah semoga sejahtera selalu”.
“Mas Elmo kayanya.. humoris yach”.
“hahaha.. yach tergantung situasi begitu neng Vera, kadang serius kadang bercanda juga, klo serius terus mach bisa mati muda nanti”
“Berapa lama begitu Mas di kota udang?”
“Rencana sich cuma seminggu aza, .. tapi lihat nanti aza dach”.
“Sudah sering ke Cirebon gitu Mas Elmo?”
“Jarang juga.., .. ngomong-ngomong apa yach makanan yang khas dan enak gitu?”
“Hmm.. di sana ada nasi lengko, ada juga nasi jamblang.. trus empal gentong juga enak.. sama tahu gejrot dach”, sahutnya berpromosi
“Klo siang-siang begini enaknya makan apa yach..?”
“Itu aza Mas Elmo.. nasi lengko yang ada di xx”, informasinya..
“Terimakasih atas informasinya.. mau ikut menemani?” ajakku padanya
“Lain kali dech Mas Elmo.. sekarang sich saya sedang sibuk”.
“Oh ya sudah.. mudah-mudahan lain kali kita bisa kopi darat begitu”.
“Harapan Vera juga begitu yach.. hati-hati sajalah.. jadi makan siang di sana?”
“Yup, .. dan terimakasih nich atas obrolannya siang hari ini yang telah menemani saya hingga masuk ke Cirebon”.
“Sama-sama.. Vera juga senang bisa ngobrol dengan dirimu dan silahkan masuk ke frekuensi ini lagi klo ada waktu”, ajaknya manja..
Demikianlah sepenggal pembicaraan siang hari itu, dan sesungguhnya apa yang dikatakan Vera itu tidaklah salah memang tempat makan yang ditunjukkan adalah favoritku juga dan itu tidaklah asing oleh karena cukup sering saya mengunjungi kota Cirebon ini.
“Nasi lengkonya 1 porsi Mas”, pintaku di pintu masuk sesaat setibanya di sana
Kemudian kupilih salah satu meja yang kosong di tengah
“Minumnya apa Mas Elmo?” tanya suara halus dari belakang
Kontan saja aku terkejut oleh karena tidak banyak yang mengenal namaku demikian dan dalam diamku kemudian dia menyodorkan tangannya
“Vera”, seraya tersenyum manis
“Oh.. ugh.. oh”, aku tergagap mendapat kejutan seperti itu
Sungguh tak ku kira kini di hadapanku hadir seorang wanita berkulit putih dengan rambut tergerai sedikit melewati bahu dan postur tubuh yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia namun berimbang.
“Koq.. bengong aza”, ujarnya mengingatkanku
“Abis.. ada bidadari sich.. yuk silahkan duduk”, sahutku seraya menggeser tempat duduk dan mempersilahkannya untuk berada di sampingku
“Koq tahu mengenai aku?” tanyaku setelah dia duduk
“Yach khan katanya jadi makan di sini terus tadi aku sudah tiba duluan dan lihat mobil kamu yang lengkap dengan antenenya trus plat nomornya juga B”, sahutnya seraya memonyongkan bibir tipisnya..
Demikianlah siang itu akhirnya aku makan siang bersama dengan”Vera” yang hingga usai santap siang tersebut belum bersedia untuk mengungkapkan nama sebenarnya dan akupun tidak memaksanya, sebaliknya saat dia minta no HPkupun tidak kuberikan.. wah bisa berabe boo, kalau pas dia telp nantinya pada saat aku bersama istriku.. bisa perang dunia.. namun aku informasikan di mana aku bermalam nantinya.
Begitulah, ketika jarum jam menunjukkan pukul 23. 15 telp di kamarku berdering, ternyata Vera yang menghubungiku.. dan membuat janji untuk kembali berjumpa esok harinya..
Tanpa terasa beberapa hari telah berlalu dan hampir setiap santap siang kulakukan bersama dengan Vera, sedangkan malam hari tidak kulakukan sehubungan dengan tugas yang harus kukerjakan bersama anak buahku untuk mengunjungi klien. Pekerjaankulah yang menuntut demikian, yaitu sebagai sales manager dari sebuah perusahaan farmasi sehingga pada malam hari aku harus mengunjungi dokter dan berbicara banyak mengenai produk dan hal lainnya, terkadang baru usai lewat tengah malam terutama bila harus berkunjung kepada dokter yang memiliki pasien banyak sehingga baru usai pada dini hari.
“Kapan kau kembali?” tanyanya suatu saat setelah beberapa hari ini kita hampir selalu makan siang bersama
“Lusa nich, besok masih masih ada beberapa urusan kantor lagi yang harus kukerjakan”, sahutku
“Oh..”, ada nada kecewa yang dapat kutangkap..
Entah tanpa terasa dalam waktu yang demikian singkat hubunganku dengan Vera nampak sangat akrab dan dekat sekali, walaupun sesungguhnya akupun masih gelap mengenai kehidupan pribadinya yang kutahu hanya sosok dia yang aku kenal apa adanya tanpa melihat kehidupan pribadinya sebaliknyapun demikian, ..
“Nanti malam masih kerja juga?” tanyanya masih ada nada protes
Hgh.., aku terhenyak dengan pertanyaan semacam itu yang menurutku sudah terlalu dalam terbawa emosi
Sambil tersenyum menggoda
“, Kenapa.. mau ngajak kemana emangnya?”
“Jalan yuk..”, ajaknya
“Kemana..?” tanyaku
“Ada waktu ngga?”
“N’tar malam begitu?” tanyaku bingung
“Iyalah.. emangnya kapan lagi?”
“OK.. aku jemput di mana nich?” tanyaku kemudian..
“Hmm di sini dech.. jam 5′an yach”, jawabnya seraya menulis suatu tempat di atas kertas yang kemudian di serahkannya padaku.”.Nanti tunggu aza di halaman parkir ngga usah masuk”, pintanya kemudian
Ternyata tempat yang diberikan adalah nama sebuah bank pemerintah yang cukup besar di kota ini, entah apa jabatannya di sana namun penekanannya yang terakhir memberikan arti bahwa dia adalah salah seorang karyawan di sana.
Sekitar jam 5 sore aku telah tiba di tempat kerja Vera dan lahan parkir sudah cukup lenggang, kemudian aku parkir di tempat teduh yang agak terlindung dari pandangan pos satpam maupun pintu keluar masuk gedung tepatnya dekat dengan bilik ATM sehingga tidak mengundang banyak kecurigaan orang lain.
Tak lama Vera keluar dan segera masuk ke dalam mobilku..
“Yup.. jalan..”, sesaat setelah masuk ke dalam mobil..
“Kemana?” tanyaku bego..
“Bawalah daku pergi..”, senandung centilnya keluar lagi..
“Dari derita ini..”, timpalku menyambut senandungnya.. dan kamipun tertawa tergelak pada sore hari itu.
Dalam keraguan itu akhirnya aku arahkan saja kendaraanku menuju ke arah kota Tegal masuk ke Jawa Tengah dengan kecepatan sedang, pemikiranku klo aku bawa dia masuk ke daerah Kuningan seperti Linggarjati misalnya rasanya terlalu riskan mungkin akan banyak orang yang mengenalnya oleh karena kota Cirebon ini khan kecil banget.. segala sesuatunya mudah tersebar.. bisa berabe nantinya..
“Kemana..?” tanyanya setelah kami sempat terdiam cukup lama dan sibuk dengan pemikiran masing – masing
“Ke arah Tegal aza yach..”, saranku
“Hhhmm.. ok”, sahutnya menyetujui saranku
Kembali kami tenggelam dalam lamunan masing-masing dan kemudian terbersit dalam ingatanku untuk mengajaknya ke Comal, di sana khan ada rumah makan dengan masakan khas kepitingnya yang sangat lezat.
“Kita makan kepiting yach..”, aku memecah keheningan
“Boleh.. di mana?”
“Pernah ke Comal ngga..? di sana ada rumah makan yang masakan kepitingnya enak lho”, promosiku..
“Belum pernah nich”.
“Kenapa sich kamu.. sakit gigi yach?” tanyaku dengan nada bergurau.”.Abis ngomong cuma sepotong-potong gitu”.
“Ach.. Mas Elmo bingung dan malu nich soalnya belon pernah pergi kaya gini nich”, suaranya bergetar manja..
Aku hanya tersenyum saja dan sempat kuperhatikan kembali sebuah cincin melingkar di jari manis kanannya
“Emang suami kamu ngga pernah ngajak pergi berdua untuk makan malam bersama gitu?” tanyaku dengan gaya yakin yang seyakin-yakinnya
“Pernah sich”, akhirnya Vera mulai mengungkapkan kehidupan pribadinya..
“Trus sekarang suami kamu mana? Koq ngga diajak sekalian?”
“Mas Bram.. masih di Jakarta, sudah seminggu.. mungkin lusa baru kembali”.
“Oh.”.
“Dinas”, lanjutnya kembali
“Sudah punya putra berapa?” lanjutku kemudian
Vera hanya menggeleng perlahan dan ada setitik air mata yang bergulir di sudut matanya, namun segera di hapusnya perlahan.. sambil menghela nafas panjang
“Sudah berapa tahun sich kamu menikah?”
“Jalan 7 tahun”, sahutnya perlahan dengan nada lembut dan bergetar menahan emosi
“Hhmm.. sudah konsultasikan ke dokter?” aku terus mengejarnya
“Sudah.. dari diriku semuanya normal”.
“Trus suami kamu?”
“Tidak tahu”, jawabnya singkat..
Kembali kami terdiam dalam renungan yang dalam sementara lampu penerangan jalan sudah mulai menyala menambah sendunya suasana sore hari ini.
“Mas Bram adalah lingkaran dalam keraton Kxx, dan layaknya keluarga ningrat mereka selalu menyalahkanku yang tidak mampu memberikan keturunan buat mereka. Dahulu kami tinggal di dalam keraton, namun sekarang tidak lagi sebab saya tidak tahan dengan perlakuan mereka, namun saya juga tidak bisa memaksa Mas Bram untuk berkonsultasi ke dokter..”, keluhnya dengan nada kelu dan tertekan..
“Apakah kamu pernah meminta suamimu untuk memeriksakan dirinya?” tanyaku melanjuti
“Tidak mungkin Mas, dalam keluargaku istri harus tunduk pada suami dan yach itulah takdirku”, bicaranya mulai tak jelas dan berakhir dengan ledakan tangisnya
Kubiarkan Vera menangis untuk menumpahkan kegundahannya hanya saja kuberanikan diri untuk mulai mengusap rambutnya dan berusaha menenangkannya.. usapan lembut dan penuh kasih sayang itu dapat menenangkan emosinya. Tanpa terasa kota Tegalpun sudah tertinggal di belakang dan 2 jam telah berlalu hingga kami tiba di tempat yang dituju dan suasana rumah makan yang temaram dengan lampu penerangan secukupnya menambah romantisnya suasana malam itu, sementara pikirankupun terus bermain entah apa maksudnya Vera menceritakan semua hal itu terlebih dengan upayanya untuk mengajakku kencan malam hari ini. Instingku mengatakan Vera menginginkan benih dariku untuk menyemai rahimnya yang tidak pernah tersentuh benih hidup yang membuktikan jati dirinya sebagai wanita.
Sikapku yang mesra dan gentle seperti membukakan pintu mobil tadi saat dia masih sibuk memperbaiki dandannya di mobil kemudian menarikkan kursi untuk Vera duduk, dapat sedikit menghilangkan kekakuan sikap kami bahkan sudah mirip seperti sepasang merpati yang sedang memadu kasih terlebih daerah yang kumasuki ini tidak banyak berhubungan dengan tempat tinggal Vera sehingga lebih memudahkan kami untuk beradapatasi.
Selesai santap malam, kembali sikap gentle kutunjukkan dengan membukakan pintu mobil baginya dan Vera membalas dengan senyum manisnya, dan sebuah kecupan tipis mendarat di pipiku sesaat setelah aku duduk di belakang kemudi.
“Thanks yach”, ucapnya lembut dengan mata sendunya
Aku hanya tersenyum dan membalas dengan mengusap lembut pipinya.. Kemudian kuarahkan mobilku untuk kembali menuju ke kota Tegal dengan satu tekad yang berkecamuk di benakku untuk dapat meniduri Vera malam hari ini. Tidak sulit bagiku untuk mendapatkan hotel yang terbaik di kota ini oleh karena memang bagian tugas dariku untuk harus berkeliling sehingga hubungan bisnis perusahaanku dengan hotel cukup baik sehingga tidak sulit untuk mendapatkan kamar yang kumau. Satu hal yang mendukung rencanaku juga adalah Vera tidak bertanya dan nampaknya diapun siap untuk menerima resiko tersebut, sementara pikiranku berencana demikian peniskupun sudah tidak mau kompromi lagi dengan mengembang maksimal sehingga ada juga rasa nyeri
Sesaat pintu kamar hotel kukunci segera kupeluk Vera yang diam pasrah dengan mata tertutup rapat.. kukecup lembut keningnya tepat di belakang pintu kamar hotel, turun sedikit kecupan kuarahkan ke mata kanan, kiri, hidung dan pipi..
Dengan tangan kiri kuangkat dagunya perlahan sempat Vera membuka matanya dan memandang sayu, sebelum tertutup kembali. Semakin dekat bibirku ke bibirnya desah nafas hangat yang memburu menerpa sebagian wajahku, kemudian dengan lembut kuletakkan bibirku di atas bibirnya yang merekah membuka basah siap dan pasrah. Kecupan lembut tersebut menambah riak gelombang birahi untuk semakin memuncak dan dengan perlahan kujulurkan lidahku untuk menyentuh ujung lidahnya yang tersentak berdetak sebelum maju perlahan menelusuri panjang lidahku ditambah dengan hisapan lembut membuat lenguhnya muncul perlahan disertai dengan tubuh yang melemas..
“Hhmmhh..”, desahnya saat kulepaskan bibirku dari pagutannya yang sedikit mulai liar..
Perlahan kususupkan jari jemariku mulai dari punggung ke tengkuk dan terus naik ke atas menyibakan rambut sebahunya dan secara bersamaan Vera menengadah memberikan lehernya yang jenjang untuk kukecup.. jilat perlahan mulai dari leher sebelah kiri menuju ke telinga belakang kiri diiringi dengan nafasku yang semakin memburu.. dan berakhir dengan lenguhan panjang dari Vera.
“Aaagghh.”.
Kemudian kulepaskan blazer biru tuanya sehingga segera nampak pangkal lengannya yang mulus oleh karena Vera menggunakan lengan buntung dan kembali kukecup pangkal lengan sebelah kiri tersebut sementara jari jemari tangan kananku mengusap lembut pangkal lengan yang satunya dan berakhir dengan genggaman tangan kami yang menyatu.
“Mas Elmoo.. aagghh”, desah Vera bergetar
Matanya kembali memandangku sayu dan perlahan dalam pelukanku kutuntun dia untuk mendekati ranjang. Kubukakan kancing demi kancing bajunya sementara Vera terus memandangku sayu seolah mengatakan lakukanlah.., dan segera setelah seluruh kancing baju tersebut terbuka, kudapati dadanya yang sangat putih mulus dengan bra berwarna gading dengan renda-renda kecil di bagian atasnya.. Kukecup.. kujilat seluruh bidang dada yang tidak tertutup bra, kuhirup dalam-dalam bau harum lembut yang semakin santer menerpa hidungku membuatku melayang untuk senantiasa memperlakukannya secara lembut dan bersama menari di atas ombak gelora cinta yang menjilat bak lidah api.. berakhir dengan dekapan eratku pada Vera. Kubuka tali pengait branya dan segeralah tersembul buah dada yang selama ini mungkin hanya dilihat oleh suaminya, tidak besar dengan puting berwarna merah muda yang menjungkit menantang untuk di sentuh. Kulanjutkan untuk membuka risleting roknya sebelum perlahan ku baringkan Vera di atas ranjang yang empuk.. sementara suhu ruangan masih belum terasa dingin oleh karena hembusan lembut udara ac belum cukup lama untuk menyejukkan udara kamar.
Vera hingga saat ini masih bersikap pasif dan pasrah seperti layaknya putri keraton yang menerima keadaannya.. dan sekarang kutindih tubuhnya dengan sebagian tubuhku dan kembali kupermainkan leher jenjang kanannya hingga ke belakang telinga dengan iringan rintihan Vera yang mendesah lembut laksana irama jazz. Kecupankupun terus turun menuruni garis lehernya secara perlahan untuk kembali mendaki bukit gunung kembar yang mungkin selama ini hanya mengenal sentuhan seorang lelaki, sementara aku adalah lelaki ke dua yang beruntung untuk bisa menyentuh dan menghisapnya dengan lembut.. di iringi belaian ringan jari-jariku mengusap seluruh permukaan kulit bukit kembar tersebut
Hentakan tubuh Vera diiringi dengan gerak reflex tangan yang berusaha menangkap tanganku dan menekannya secara kuat ke payudaranya disertai dengan tekukan lututnya serta mata terpejam dengan kuat dan rapat menandakan gejolak dalam birahinya yang tak tertahankan berusaha menerobos keluar. Ketelusuri lekuk tubuhnya untuk menggapai tepi celana dalamnya dan segera kuturunkan dibantu oleh Vera yang mengangkat pinggulnya. Oh.. indah sekali bentuk rambut halus hitam yang tertata rapi bagaikan hamparan rumput hitam dengan panjang yang seragam dan terawat baik. Tekanan ringan pada kedua pinggulnya serta hisapan lembut di pundaknya kembali menyentakan Vera disertai dengan jeritan lirih.
“Arrgghh..”, diiring dengan tekanan pinggul Vera untuk melawan ke atas. Jilatan demi jilatan kembali merayap menuruni belahan tengah buah dadanya, menuju ke perut dan secara reflekpun Vera mempersiapkan jalanku dengan membentangkan kedua belah pangkal pahanya dengan gerakan alami. Tanpa kesulitan dan dengan perlahan kecupan bibirku bisa sampai di belahan tengah bibir bawahnya yang disambut dengan mengalirnya cairan putih bening kental dalam jumlah cukup banyak berkelok-kelok seperti anak sungai membasahi rerumputan akibat terbukanya bendungan yang menjadi tanggul dari cairan tersebut. Jilatan sedikit kasar untuk mengangkat cairan tersebut dan diakhiri dengan hisapan kuat untuk membersihkan seluruh aliran kental anak sungai ini terasakan bagai dibetotnya sesuatu yang ada di dalam dan meluluh lantakan tulang belulang di tubuh..
“El.. mo..”, jeritan Vera diiringi dengan gerak liar pinggulnya dan tarikan kuat mencengkram bed cover yang belum diangkat saat kulakukan hisapan kuat tadi.
“El.. mo.. masukkan aku ngga kuat lagi”, pintanya dalam nada bergetar mengharap.
Segera kubuka kaos yang sedari tadi belum kulepaskan demikian juga seluruh pakaian yang masih menyelimuti tubuhku. Ketika aku mulai menindih tubuh mulus Vera, sensasi kulit nan lembut menyengat seluruh saraf sensitive di tubuhku dan mengakibatkan urat-urat di penisku menyembul dengan kuat memberikan guratan biru tegas membekas. Secara reflek Vera kembali menekukkan lututnya dan bebas membuka memberikan jalan bagi penisku untuk segera memasuki relung vaginanya.
Vera kembali memandangku sayu dan berkata perlahan,
“Lakukanlah.. aku rela bersamamu”.
Perlahan kuarahkan penisku untuk bisa mulai menelusuri lorong kenikmatan dengan relungnya yang kuyakin akan menjepit kuat dan ketika kujumpai ujung lorong tersebut perlahan kuturunkan penis tersebut untuk mulai menerobos lorong kenikmatan membor layaknya paku bumi diiringi dengan mata Vera yang terus meredup dan terpejam seiring dengan gigitan pada sudut bibirnya untuk menambah sensasi kenikmatan yang mulai berjalan. Sebaliknya kurasakan juga sodokan perlahan penisku serasa membuka lipatan-lipatan lunak yang tak berujung terus ke dalam diikuti dengan jepitan kuat sesudahnya memberikan sensasi yang tak terkirakan.
“Aaakkhh..”, erangan panjang Vera disertai dengan mengejang kakunya seluruh tungkai kaki Vera yang panjang mengakhiri perjalanan penisku untuk mencapai lorong yang paling dalam sementara remasan kuat di bed cover menandakan perjalanan kenikmatan Vera yang masih belum berakhir.
Buah dada kenyal tepat berada di bawah dada bidangku dan bisa kurasakan kehangatannya yang terus berdenyut mengalir membawa gelombang birahi bertalu-talu. Sunggingan senyum manis Vera menghias ujung bibirnya ketika mata bening itu bertatapan dengan mataku dalam jarak yang begitu dekat diiringi dengan lenguh nafasnya yang tetap memburu semakin menggila dan kedutan halus malu-malu dilakukannya dengan tetap memandangku diiringi dengan senyum manisnya.
“Hebat.. teruskan”, pujiku untuk menambah kepercayaan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu hal yang tabu dan memang diperlukan untuk dapat menambah nikmatnya hubungan kami. Pujianku memberikan keberaniannya untuk segera melakukan manuver tersebut dan seiring dengan kembali terpejamnya mata lentik tersebut, remasan kuat berirama mengurut penisku yang membangkitkan seluruh titik saraf di tubuhku untuk terpusat pada gerakannya.. remasannya..
Perlahan kulakukan perlawanan dengan menggenjot penisku untuk mengimbangi remasannya diiringi dengan lenguh nafas yang terus memburu seperti derak bantalan rel kereta yang dilalui.
“Hhshshshhshhs..”, dengus nafasku tak dapat kekendalikan
“Uuugghh.. uugghh..”, Vera tak kalah serunya merintih
Buliran keringat sebesar jagung mulai membasahi keningku dan menetes di dadanya, demikian juga butiran keringat Vera mulai membasahi tubuhnya khususnya di pundaknya sehingga geraian rambut yang basah dan menempel pada pundaknya menambah pesona memompa birahiku untuk mendaki mencapai puncaknya
Gerakanku semakin seirama dengan hentakan pinggul Vera apakah demikian kuatnya ikatan emosi sehingga tak terlalu lama bagi kita untuk menyatukan irama gerakan kami akupun tak tahu namun hentakan menghunjam semakin kuat dan cepat dan berakhir dengan..
“Ellmmoo”, teriakan Vera sesaat sebelum aku mencapai puncaknya
Tubuh Vera mengejang sesaat sebelum akhirnya membujur lemas diam tak bergerak, wajah ayunya meninggalkan buliran keringat halus yang membentuk guratan halus ketika kuraba menuruni leher jenjangnya dan berkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Tak bosan kupandang wajahnya yang memang ayu. Tak lama Vera mulai membuka matanya dan memandangku kembali dengan senyum khasnya, sebagai balasannya ku angkat penisku perlahan dan secara reflek Vera berusaha menahanku untuk tetap berada di dalamnya, namun tetap kuangkat perlahan dan segera kubalikan tubuh lemas Vera. Kupandang punggung halusnya dengan beberapa helai rambut yang tetap menempel basah oleh keringat, kuraba perlahan menyingkap helai-helai rambut tersebut untuk mendapatkan punggungnya secara utuh. Buliran keringat nampak jelas pada kedua belah bahunya menggodaku untuk kembali menjilatnya dan terus merayap ke atas menelusuri leher jenjangnya dan membasahi rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar tengkuknya dengan air liurku.
Rintihan nikmat kembali terdengar seiring dengan bangkit kembalinya gelora gairah yang sempat mendatar tadi setelah mencapai puncaknya,
“Eegghh.”
Permainan jari-jariku yang merayap naik turun menelusuri seluruh lekuk tubuh Vera segera memicu kembali adrenalinku terlebih rintihan nikmat tersebut semakin cepat memburu dan hanya membutuhkan waktu yang teramat singkat untuk segera membangkitkannya.
Kembali kutindih tubuh Vera dari belakang dan kuarahkan kembali penisku yang sedari tadi tetap menegang, sementara belahan kaki yang tampak sangat indah tersebut kembali terbuka lebar menyisakan lubang yang masih terbuka dan berdenyut halus dengan lendir yang membasahi sekelilingnya. Kuingin memasukinya kembali secara perlahan dan menikmati sensasi kenikmatan saat kumasuki relungnya tersebut secara perlahan dengan jepitan yang kurasakan lebih kuat lagi..
“El.., cee.. pat lakukan, aku tak tahan.. Eeell”, rintihnya perlahan namun terdengar jelas.
Perlahan namun pasti terus kudorong masuk penisku hingga mencapai jarak terjauhnya dan segera kuayunkan berirama.
Gerakanku kali ini diimbangi dengan lenguhannya tiap kali ujung penisku menyentuh mulut rahimnya,
“Arrkkh.., terus El.. arrkkhh”.
Semakin lama genjotanku semakin kuat bertenaga seiring dengan memuncaknya sensasi yang kurasakan mulai menumpuk di ujung penis untuk menyemburkan sperma yang sedari tadi tertahan, dan jepitan liang vagina Verapun semakin mantap kurasakan.
Butiran keringat bak pasir di tepi pantai yang membasahi pundaknya kembali keluar dengan derasnya yang segera berubah membesar menyerupai butiran jagung tersebar merata hingga ke punggungnya.. berkilap tertimpa cahaya lampu. Hingga ketika tiba saatnya, ujung penisku berdenyut kencang dan dalam 1.. 2.. tusukan terakhir aku hunjamkan sekuat tenaga dan sedalamnya yang diiringi dengan teriakan Vera disertai gelengan kepalanya yang ke kiri dan ke kanan dengan cepat dan.. srett.. srett.. srett.. semburan maniku menelusuri panjang penisku dan menerjang masuk menabrak dinding rahimnya melemparkan puncak kenikmatan hingga keujungnya dan jatuh demikian terjal dalam kelelahan nikmat yang tak berujung.
“Aaacchh..”, jeritan terakhir Vera sebelum dia kembali terjatuh dan diam dalam kelelahan yang teramat sangat.
Peluh yang bercucuran bercampur jadi satu ketika tubuhku ambruk dan menindih tubuh mulus Vera, bau harum keringat segera membuaiku dalam mimpi terindah bersama Vera.
“Thanks Ver”, ucapku sesaat sebelum ku terlelap
“Thanks juga El”, sahutnya lemah
Luluh lantak rasanya tubuhku malam itu dan terkuras habis staminaku setelah sebelumnya banyak tersita oleh urusan dinas namun apa yang kuberikan saat itu memberikan makna dan kesan yang sangat mendalam di lubuk hati Vera, oleh karena baru kali ini dia merasa begitu dihargai dan diperlakukan manja sebagaimana layaknya seorang istri yang memiliki kedudukan sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar