Selasa, 17 Mei 2011

asmara Ditengah Rimba

Pada suatu liburan sekolah yang panjang, kami dari sebuah SLTA mengadakan pendaikan gunung di Jawa Timur. Rombongan terdiri dari lima laki-laki dan lima wanita. Diantara rombongan itu satu guru wanita ( guru biologi) dan satu guru pria ( guru olah raga ). Acara liburan ini sebenarnya amat tidak didukung oleh cuaca. Soalnya, acara kami itu diadakan pada awal musim hujan. Tapi kami tidak sedikitpun gentar menghadapi ancaman cuaca itu. Ada yang seikit mengganjal hati saya, yakni Ibu Guru Anisa ( Bu Anis ) yang terkenal galak dan judes itu dan anti cowok ! denger-denger dia itu lesbi. Ada yang bilang dia patah hati dari pacarnya dan kini sok anti cowok. Bu Anis usianya belum 30 tahun, sarjana, cantik, tinggi, kulit kuning langsat, full press body. Sedangkan teman – teman cewek lainnya terdiri dari cecwek-cewek bawel tapi cantk-cantik dan periang, cowoknya, terus terang saja, semuanya bandit asmara ! termasuk pak Martin guru olah raga kami itu.

Perjalanan menuju puncak gunung, mulai dari kumpul di sekolah hingga tiba di kaki gunung di pos penjagaan I kami lalui dengan riang gembira dan mulus-mulus saja. Seperti biasanya rombongan berangkat menuju ke sasaran melalui jalan setapak. Sampai tengah hari, kami mulai memasuki kawasan yang berhutan lebat dengan satwa liarnya, yang sebagian besar terdiri dari monyet-monyet liar dan galak. Menjelang sore, setelah rombongan istirahat sebentar untuk makan dan minum, kami berangkat lagi. Kata pak Martin sebentar lagi sampai ke tujuan. Saking lelahnya, rombongan mulai berkelompok dua-dua. Kebetulan aku berjalan paling belakang menemani si bawel Anisa dan disuruh membawa bawaannya lagi, berat juga sih, sebel pula ! Sebentar-sebentar minta istirahat, bahkan sampai 10 menit, lima belas menit, dan dia benar-benar kecapean dan betisnya yang putih itu mulai membengkak.
Kami berangkat lagi, tapi celaka, rombongan di depan tidak nampak lagi, nah lo ?! kami kebingungan sekali, bahkan berteriak memanggil-manggil mereka yang berjalan duluan. Tak ada sahutan sedikitpun, yang terdengan hanya raungan monyet-monyet liar, suara burung, bahkan sesekali auman harimau. Bu Anis sangat ketakutan dengan auman harimau itu. Akhirnya kami terus berjalan menuruti naluri saja. rasa-rasanya jalan yang kami lalui itu benar, soalnya hanya ada satu jalan setapak yang biasadilalui orang.
Sial bagi kami, kabut dengan tiba-tiba turun, udara dingin dan lembab, hari mulai gelap, hujan turun rintik-rintik. Bu Anis minta istirahat dan berteduh di sebuah pohon sangat besar. Hingga hari gelap kami tersasar dan belum bertemu dengan rombongan di depan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di disebuah tepian batu cadas yang sedikit seperti goa.
Hujan semakin lebat dan kabut tebal sekali, udara menyengat ketulang sumsum dinginnya. Bajuku basah kuyup, demikian juga baju bu Anisa. Dia menggigil kedinginan. Sekejap saja hari menjadi gelap gulita, dengan tiupan angin kencang yang dingin. Kami tersesat di tengah hutan lebat.
Tanpa sadar bu Anis saking kedinginan dia memeluk aku. “Maaf” katanya. Aku diam saja, bahkan dia minta aku memeluknya erat-erat agar hangat tubuhnya. Pelukan kami semakin erat, seiring dengan kencangnya deras hujan yang dingin. Jika aku tak salah, hampit tiga jam lamanya hujan turun, dan hampir tiga jam kami berpelukan menahan dingin.
Setelah hujan reda, kami membuka ransel masing-masing. Tujuan utamanya adalah mencari pakaian tebal, sebab jaket kami sudah basah kuyup. Seluruh pakain bawaan bu Anis basah kuyup, aku hanya punya satu jaket parasut di ransel. Bu Anis minta aku meminjamkan jakaetku. Aku setuju. Tapi apa yag terjadi ? wow…bu anis dalam suasan dingin itu membuka seluruh pakaiannya guna diganti dengan yang agak kering. Mulai dari jaket, T. Shirt nya, BH nya, wah aku melihat seluruh tubuh bu Anis. Dia cuek saja, teteknya nampak samar-samar dalam gelap itu. Tiba-tiba dia memelukku lagi. “Dingin banget” katanya. ” Terang dingin bu, habis ibu bugil begini” jawabku. “Habis bagaimana? basah semua, tolong pakein aku jeketmu dong ?” pinta bu Anis. Aku memakaian jaket parasut itu ketubuh bu Anis. Tanganku bersentuhan dengan payudaranya, dan aku berguman ” maaf bu ?” “enggak apa-apa ?!”: sahutnya. Hatiku jadi enggak karuan, udara yang aku rasakan dingin mendadak jadi hangat, entah apa penyebabnya. Bu Anis merangkulku, “dingin” katanya, aku peluk saja dia erat-erat. ” Hangat bu ?” tanyaku ” iya, hangat sekali, yang kenceng dong meluknya ” pintanya. Otomatis aku peluk erat-erat dan semakin erat.
Aneh bin ajaib, bu Anis tampat sudah berkurang merasakan kedinginan malam itu, seperti aku juga. Dia meraba bibirku, aku reflex mencium bibir bu Anisa. Lalu aku melesnya lagi. ” kenapa?” tanya bu Anis ” maaf bu ? ” Jawabku. ” Tidak apa-apa Rangga, kita dalam suasana seperti ini saling membutuhkan, dengan begini kita saling bernafsu, dengan nafsu itu membangkitkan panas dalam darah kita, dan bisa mengurangi rasa dingin yang menyengat.
Kembali kami berpelukan, berciuman, hingga tanpa sadar aku memegang teteknya bu Anis yang montok itu, dia diam saja, bahkan seperti meningkat nafsu birahinya. Tangannya secara reflek merogoh celanaku kedalam hingga masuk dan memegang ******ku. Kami masih berciuman, tangan bu Anis melakukan gerakan seperti mengocok-ngocok ******ku. Tanganku mulai merogoh memeknya bu Anis, astaga ! dia rupanya sudah melepas celana dalamnya sedari tadi. Karena remang-remang aku sampai tak melihatnya. Memeknya hangat sekali bagian dalamnya, bulunya lebat.
Bu Anisa sepontan melepas seluruh pakaiannya, dan meminta aku melepas pula . Aku tanpa basa basi lagi langsung bugil. Kami bergumul diatas semak-semak, kami melakukan hubungan badan ditengah gelap gulita itu. Kami saling ganti posisi, bu anis meminta aku dibawah, dia diatas. Astaga, goyangnya mek ! pengalaman banget dia ? kan belum kawin ? ” Kamu kuat ya?” bisiknya mesra.” Lumayan bu ?!” sahutku setenga berbisik. ” Biasa main dimana ?” tanyanya ” maksud ibu ?” tanyaku kembali. ” ahc enggak” jawabnya sambil melepas memeknya dari ******ku, dan dengan cekatan dia mengisap dan menjilati ******ku tanpa rasa jijik sedikitpun. Bu Anis meminta agar aku mengisap teteknya, lalu menekan kepalaku dan menuntunnya ke arah memeknya. Aku jilati memek itu tanpa rasa jijikpula. Tiba-tisa saja dia minta senggama lagi, lagi dan lagi, hingga aku muncrat keluar.
Aku sempatt bertanya, “bagaiman jika hamil bu?” ” don’t worry !” katanya. “disini kamu jangan panggil aku Ibu, panggil saja saya Anis, kan lebih mesra, ya khan ?” pintanya.aku menyetujuinya. Dan setelah dia memebersihkan memeknya dari pejuhku, dia merangkul aku lagi.
Malam semakin larut, hujan sudah reda, bintang-bintang di langit mulai bersinar. Pada jam duabelas tengah malam, bulan nampak bersinar terang benderang. Paras bu Anis tampak anggun dan cantik sekali. Kami ngobrol ngalor-ngidul, soal kondom, soal sekolah, soal nasib guru, dsb.
Setelah ngobrol sekian jam, tepat pukul tiga malam, bu Anis minta bersteubuh denganku lagi, katanya nikmat sekali ******ku. Aku semakain bingung, dari mana dia tahu macam-macam rasa ******, dia kan belum nikah ? tidak punya pacar ? kata orang dia lesbi.
Aku menuruti permintaan bu Anis. Dia menggagahi aku, lalu meminta aku melakukan pemanasan sex (four play). Mainan bu Anis bukan main hebatnya, segala gaya dia lakukan. Kami tak perduli lagi dengan dinginnya malam, gatalnya semak-semak. Kami bergumul dan bergumul lagi. Bu Anis meraih tanganku dan menempelkan ke teteknya. Dia minta agar aku meremas-remas teteknya, lalu memainkan lubang memeknya dengan jariku, menjilati sekujur bagian dagu. Tak kalah pula dia mengocok-ngocok ******ku yang sudah sangat tegang itu, lalu dijilatinya, dan dimasukkannya kelubang vaginanya, dan kami saling goyang menggoyang dan hingga kami saling mencapai klimaks kenikmatan, dan terkulai lemas.
Bu Anis minta agar aku tak usah lagi menyusul kelompok yang terpisah. Esoknya kami memutuskan untuk berkemah sendiri dan mencari lokasi yang tak akan mungkin dijangkau mereka. Kami mendapatkan tempat ditepi jurang terjal dan ada goa kecilnya, serta ada sungai yang bening, tapi rimbun dan nyaman. Romastis sekali tempat kami itu. Aku dan Bu Anis layaknya seperti Tarzan dan pacarnya di tengah hutan. Sebab seluruh baju yang kami bawa basah kuyup oleh hujan. Bu Anis hanya memakai selembar selayer yang dililitkan diseputar perut untuk menutupi kemaluannya. Aku telanjang bulat, karena baju kami sedang kami jemur ditepi sungai. Bu Anis dengan busana yang sangat minim itu membuat aku terangsang terus, demikian pula dia. Dalam hari-hari yang kami lalui kami hanya makan mi instant dan makanan kaleng.
Tepat sudah tiga hari kami ada ditempat terpencil itu. Hari terakhir, sepanjang hari kami hanya ngobrol dan bermesraan saja. Kami memutuskan esok pagi kami harus pulang. Di hari terakhir itu, kesmpatan kami pakai semaksimal mungkin. Di hari yang cerah itu, bu Anis minta aku mandi bersama di sungai yang rimbun tertutup pohon-pohon besar. Kami mandi berendam, berpelukan, lalu bersenggama lagi. Bu Anis menuntun ******ku masuk ke memeknya. Dan di menggoyangkan pinggulnya agar aku merasa nikmat. Aku demikian pula, semakin menekan ******ku masuk kedalam memeknya. Di atas batu yang ceper nan besar, bu Anis membaringkan diri dengan posisi menantang, dia menguakkan selangkangngannya, memeknya terbuka lebar, disuruhnya aku menjilati bibir memeknya hingga itil bagian dalam yang negjendol itu. Dia merasakan nikmat yang luar biasa, lalu disuruhnya aku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang memeknya, dan menekannya dalam-dalam. Mata bu Anis merem melek kenikmatan. Tak lama kemudian dia minta aku yang berbaring, ******ku di elus-elus, diciumi, dijilati, lalu diisapnya dengan memainkan lidahnya, Bu Anis minta agar aku jangan ejakulasi dulu, tahan ya ? pintanya. ” Jangan dikeluarin lho ?!” pintanya lagi, lalu mengisap ******ku dalam-dalam. Setelah dia enggak tahan, lalu dia naik diatasku dan memasukkan ******ku di memeknya, wah, goyangnya hebat sekali, akhirnya dia yang kalah duluan. Bu Anis mencubiti aku, menjambak rambutku, rupanya dia ” keluar”, dan menjerit kenikmatan, lalu aku menyusul yang “keluar” dan oh,,,,oh…oh….muncratlah air maniku dilubang memek bu Anis. “Jahat kamu ?!” kata bu Anis seraya menatapku manja dan memukuli aku pelan dan mesra. Aku tersenyum saja. ” Jahat kamu Rangga, aku kalah terus sama kamu ” Ujarnya lagi. Kami sama-sama terkulai lemas diatas batu itu.
Esoknya kami sudah berangkat dari tempat yang tak akan terlupakan itu. Kami memadu janji, bahwa suatu saat nanti kami akan kembali ke tempat itu. Kami pulang dengan mengambil jalan ke desa terdekat dan pergi ke kota terdekat agar tidak bertemu dengan rombongan yang terpisah itu.Dari kota kecil itu kami pulang ke kota kami dengan menyewa Taxi, sepanjang jalan kami berpelukan terus di dalam Taxi. Tak sedikitpun waktu yang kami sia-siakan. Bu Anis menciumi pipiku, bibirku, lalu membisikkan kata ” Aku suka kamu ” Aku juga membalasnya dengan kalimat mesra yang tak kalah indahnya. Dalam dua jam perjalanan itu, tangan dan jari-jari bu Anis tak henti-hentinya merogoh celana dalamku, dan memegangi ******ku. Dia tahu aku ejakulasi (keluar pejuh) di dalam celana, bahkan bu Anis tetap mengocok-ngocoknya. Aku terus memeluk dia, pak Supir tak ku ijinkan menoleh kami kebelakang, dia setuju saja. Sudah tiga kali aku ” keluar” karena tangan bu Anis selalu memainkan ******ku sepanjang perjalanan di Taxi itu. ” Aku lemas sayang ?!” bisikku mesra ” Biarin !” Bisiknya mesra sekali. ” Aku suka kok !” Bisiknya lagi. Tidak mau ketinggalan aku merogoh celana olah raga yang dipakai bu Anis. Astaga, dia tidak pakai celana dalam. Ketika jari-jari tanganku menyolok memeknya, dia tersenyum, bulunya ku tarik-tarik, dia meringis, dan apa yang terjadi ? astaga lagi, bu Anis sudah meler banyak, memeknya masah oleh semacam lendir, rupanya nafsunya tinggi sekali, becek banget. Tangan kami sama-sama basah oleh cairan kemaluan. Ketika sampai di rumah bu Anis, aku disuruhnya langsung pulang, enggak enak sama tetangga katanya. Dia menyodorkan uang dua lembar lima puluh ribuan, aku menolaknya, biar aku saja yang membayar Taxi itu. Lalu aku pulang.
Hari-hari berikutnya di sekolah, hubunganku dengan Anisa guru biologiku, nampak wajar-wajar saja dari luar. Tap ada satu temanku yang curiga, demikian para guru. Hari-hari selanjutnya selalu bermuara ditempat tempat khusus seperti hotel diluar kota, di pantai, bahkan pernah dalam suatu liburan kami ke Bali selama 12 hari.
Ketika aku sudah menyelesaikan studyku di SLTA, bu Anis minta agar aku tak melupakan kenangan yangpernah kami ukir. Aku diajaknya ke sebuah Hotel disebuah kota, yah seperti perpisahan. Karena aku harus melanjutkan kuliah di Autralia, menyusul kakakku Rina. Alangkah sedihnya bu Anis malam itu, dia nampak cantik, lembut dan mesra. Tak rela rasanya aku kehilangan bu Anis. Kujelaskan semuanya, walau kita beda usia yang cukup mencolok, tapi aku mau menikah dengannya. Bu Anis memberikan cincin bernata berlian yang dipakainya kepada aku. Aku memberikan kalung emas bermata zamrus kepada bu Anis. Cincin bu Anis hanya mampu melingkar di kelingkingku, kalungku langsung dipakainya, setelah dikecupinya. Bu Anis berencana berhenti menjadi guru, “sakit rasanya” ujarnya kalau terus menjadi guru, karena kelihalang aku. Bu Anis akan melanjutkan S2 nya di USA, karena keluarganya ada disana. Setelah itu kami berpisah hingga sekian tahun, tanpa kontak lagi.
Pada suatu saat, ada surat undangan pernikahan datang ke Apartemenku, datangnya dari Dra. Anisa Maharani, MSC. Rupanya benar dia menyelesaikan S2 nya.Aku terbang ke Jakarta, karena resepsi itu diadakan di Jakarta disebuah hotel bintang lima. Aku datang bersama kakakku Rina dan Papa. Di pesta itu, ketika aku datang, bu Anis tak tahan menahan emosinya, dia menghampiriku ditengah kerumunan orang banya itu dan memelukku erat-erat, lalu menangis sejadi-jadinya. “Aku rindu kamu Rangga kekasihku, aku sayang kamu, sekian tahun aku kehilangan kamu, andai saja laki-laki disampingku dipelaminan itu adalah kamu, alangkah bahagianya aku ” Kata bu Anis lirih dan pelan sambil memelukku. Kamu jadi perhatian para hadirin, Rina dan Papa saling tatap kebingungan. Ku usap airmata tulus bu Anis. Kujelaskan aku sudah selesai S1 dan akan melanjutkan S2 di USA, dan aku berjanji akan membangun laboratorium yang kuberi nama Laboratorium “ANISA”. Dia setuju dan masih menenteskan air mata.
Setelah aku diperkenalkan dengan suaminya, aku minta pamit untuk pulang, akupun tak tahan dengan suasana yang mengharukan ini. Setelah lima tahun tak ada khabar lagi dari dia, aku sudah menikah dan punya anak wanita yang kuberi nama Anisa Maharani, persis nama bu Anis. Ku khabari Anisa dan dia datang kerumahku di Bandung, dia juga membawa putranya yang diberi nama Rangga, cuma Rangga berbeda usia tiga tahun dengan Anisa putriku. Aku masih merasakan getaran-getaran aneh di hatiku, tatapan bu Anis masih menantang dan panas, senyumnya masih menggoda. Kami sepakat untuk menjodohkan anak kami kelak, jika Tuhan mengijinkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar